6.28.2007

Kiprah Raja Ritel Ponsel di Bisnis Properti


Senin, 10 Juli 2006
Oleh : Yuyun Manopol & Tutut Handayani.

Sejak tiang pancang hotel Swiss-Belhotel Banda Aceh dipasang pada Maret lalu, kesibukan Hermes Thamrin kian menjadi-jadi. Tiga hari dalam seminggu, pemilik jaringan ritel ponsel Nokia terbesar di Indonesia ini harus bolak-balik Jakarta-Banda Aceh untuk melihat langsung pembangunan hotelnya di bawah bendera PT Berlian Global Perkasa. Tak tanggung-tanggung, Hermes menggelontorkan dana hingga Rp 60 miliar untuk pembangunan hotel bernuansa Timur Tengah itu. Ia menargetkan dalam 6 bulan pembangunan hotel yang memiliki 159 kamar (129 deluxe room; 20 junior suites room; 8 suite room, dan dua president suite room – Red.) ini akan selesai. “Kepemilikan saya di sana mencapai 100%,” ujar Hermes mengomentari hotel yang bakal menjadi hotel berbintang empat plus yang pertama di Serambi Mekkah itu.

Ide membangun hotel timbul sepulang Hermes dari pertemuan para dealer yang tergabung dalam jaringan distributor ponselnya di Banda Aceh. Di sana ia melihat tidak ada hotel berbintang tiga ke atas yang layak inap baginya ataupun mitra bisnisnya. Selain itu, ia mencermati setelah kejadian Tsunami Desember 2004, banyak orang yang ingin datang ke Aceh. “Banyak orang yang berkunjung ke Aceh, seperti ingin melihat monumen Tsunami atau situasi pasca-Tsunami,” kata pria kelahiran 30 Januari 1948 asal Sumatera Utara ini.

Sesungguhnya, tak hanya Swiss-Belhotel Banda Aceh yang merupakan proyek properti Hermes. Di Medan, Hermes punya sebuah proyek yang tak kalah atraktif yaitu Cambridge Mall & Condominium. Gedung yang berlokasi di Jl. S. Parman, Medan ini dibangun bersama tiga rekannya dalam sebuah konsorsium PT Global Medan Town Square. Sayang, Hermes enggan menyebutkan nama ketiga mitra bisnisnya di mal yang memakan investasi Rp 150 miliar itu. “Yang pasti, mereka sangat berpengalaman di bisnis properti mal dan kondominium,” ia menegaskan.

Mal yang dibangun di atas lahan seluas 1 hektare ini akan memiliki empat menara dan 28 lantai (24 upper ground dan empat basement). Tak heran, Hermes yakin mal yang dibangun oleh PT Total Bangun Persada dan Decorient Indonesia (kontraktor) ini akan menjadi ikon baru di Kota Medan sekaligus gedung tertinggi di luar Pulau Jawa. Rencananya pembangunan proyek ini akan memakan waktu tiga tahun sampai resmi beroperasi.

Lalu, dari mana dana untuk berinvestasi di properti ini? Hermes mengelak uang yang dibenamkan di pembangunan hotel dan mal adalah uang dari bisnis selulernya, Grup Global (GG). Dijelaskan Hermes, uang yang dikeluarkannya murni dari kocek pribadi tanpa mengganggu arus kas bisnisnya di GG – induk perusahaan yang membawahkan bisnis distribusi ponsel Nokia, dealer resmi Telkomsel dan Flexi, serta 216 gerai jaringan ritel miliknya.

Menurut Hermes, berinvestasi di properti bukanlah hal yang asing baginya. Sejak 24 tahun lalu, Chairman PT Bimasakti Usindo Perkasa (distribusi Nokia) dan PT Cipta Multi Usaha Perkasa (jaringan Global Teleshop) ini sudah berbisnis properti. “Berbarengan dengan terjunnya saya menjadi wirausaha,” ujar mantan profesional di Welcome Foundation ini. Ketertarikannya pada properti karena properti merupakan investasi yang paling solid meskipun return-nya tidak tinggi.

Adapun investasi properti Hermes di Indonesia sebagian besar berbentuk rumah, ruko/rukan, dan gedung perkantoran. Ruko/rukan dan gedung perkantoran yang dibelinya mayoritas dipakai sendiri. Begitu pula dengan ruko/rukan dan gedung perkantoran yang dibangunnya. Semuanya digunakan untuk usaha jaringan ritel dan distribusi ponsel miliknya. Contohnya, Gedung Bimasakti (eks Gedung BCA) yang berlokasi di Jl. Mampang Prapatan Raya, Jakarta Selatan dibelinya tahun 2000. Begitu pula dengan Gedung Wisma Perkasa berlantai lima di Jl. Warung Buncit Raya, Jak-Sel, yang dibeli tahun 1993. Pertimbangannya, menghemat biaya sewa gedung.

Tidak hanya properti di Tanah Air yang diincar Hermes, sejak 1996 ia melirik properti di Australia. Bentuk propertinya yang pertama di Negeri Kanguru itu adalah sebuah rumah yang berlokasi di Kesingtown, Sydney. Sekarang rumah ini menjadi tempat tinggal pribadi. Alasannya, ketiga anaknya – Andreas Thamrin (29 tahun), Beatrix Thamrin (26 tahun), dan Chaterine Thamrin (24 tahun) – bersekolah di sana.

Setelah krisis 1998, Hermes ingin memperkaya portofolio pribadinya dalam bentuk properti. Tepat pada Agustus 2000 ia membeli 64 unit apartemen bertingkat 8 di Maruba, Sydney. Kemudian, setiap unit apartemen ini dijual kembali dengan harga Aus$ 275-500 ribu. Ia sengaja memilih Kota Sydney, “Banyak warga negara Indonesia tinggal dan bersekolah di sana. Merekalah pasar utama saya saat itu,” ujar Hermes, yang hingga saat ini atau dalam rentang waktu 8 tahun, praktis 100 unit apartemen telah dimainkannya di Australia.

Dijelaskan Hermes, harga properti di Australia selalu meningkat 10% per tahun, sedangkan tingkat inflasi di bawah 5% per tahun. Rata-rata keuntungan yang diperolehnya berkisar 15%-20% dari tiap jenis apartemen yang dijualnya. Hermes menceritakan, ia selalu membeli properti langsung dari pengembangnya. Kemudian, ia menggunakan jasa agen properti untuk menjualnya kembali.

Tampaknya, saat ini daya tarik properti sedang menggayuti pikiran pria yang tak bersedia mengungkapkan total perputaran semua bisnisnya ini. Ke depan, ia berencana akan membangun hotel di Sabang, Nanggroe Aceh Darussalam dan beberapa daerah wisata Indonesia lainnya. Alasannya, kawasan Sabang menyimpan potensi wisata taman laut yang jauh lebih indah dibandingkan dengan Bunaken.

Geliat “Kapten” Kosmian


Kamis, 24 Agustus 2006
Oleh : Tutut Handayani.

De appel valt niet ver van de boom. Buah apel jatuh tak jauh dari pohonnya. Inilah yang terjadi pada Kosmian Pudjiadi (44 tahun), putra Sjukur Pudjiadi (70 tahun) – pendiri dan Chairman Grup Jayakarta dan Pudjiadi. Sejak 1996, Kosmian dipercaya ayahnya mengomandani PT Pudjiadi Prestige Tbk. (PP) yang bergerak di real estate, pengembang dan manajemen properti.

Sejatinya, tak mudah bagi Kosmian meraih kepercayaan sang ayah. Jalan berliku mesti dilalui anak keempat dari lima bersaudara ini. Ia mulai membantu ayahnya setamat MBA dari Universitas Loyola Marymount, Los Angeles, Amerika Serikat pada 1986. Proyek pertamanya, pembangunan rumah toko di Depok, sukses. Seluruh unit (350 ruko) habis terjual. Proyek berikutnya, juga sukses. Berkongsi dengan Grup Bangun Tjipta milik Siswono Yudohusodo, Kosmian membangun perumahan Sunter Pratama di Jakarta Utara.

Tahun 1987, Kosmian membuat langkah penting. Mencium peluang kebutuhan ekspatriat akan apartemen sewa, ia pun membangun Apartemen Senopati di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Hasilnya, memang terbukti. Semua unit diserap pasar meski harga sewa saat itu terbilang tinggi (US$ 3 ribu per bulan). Sukses di sini, lima tahun kemudian ia membangun Apartemen Kemang dan Apartemen Prapanca yang juga laris hingga kini (tingkat hunian di atas 90%).

Kendati proyek-proyek tersebut sukses, tak serta-merta Kosmian langsung dipercaya Sjukur. Momen krusial muncul sewaktu suami Ratu Ratih Rosweni ini mendatangi Sjukur dengan gagasan membangun Sol Elite Marbella seluas 82 ribu m2 di Anyer. Sang ayah menolak dengan alasan sangat berisiko. Maklum, nilai investasi yang bakal dibenamkan sangat besar, sekitar Rp 200 miliar. Lalu, Anyer saat itu (1994-1995) belum menjadi tujuan wisata favorit. Begitu pula dengan akses dan infrastruktur menuju lokasi, masih buruk.

“Ide ini sempat memicu perdebatan panjang dengan beliau,” kenang Kosmian yang yakin proyek ini akan menjadi ikon Pantai Anyer, dan memenuhi permintaan tempat berlibur yang layak di pinggir pantai. Akhirnya, ditempuh jalan tengah: Sol Elite Marbella dibangun dengan cara bertahap. “Kamu bikin tahap satu dulu dan buktikan apakah insting bisnis itu benar atau tidak!” Kosmian mengutip tantangan ayahnya kala itu.

Maka, meluncurlah pengembangan tahap pertama senilai Rp 5 miliar. Dan kalkulasi Kosmian tepat. Apartemen setinggi 8 lantai dengan 200 kamar langsung tersewa. Dalam tempo dua tahun, resor bergaya Mediterania ini pun berkembang menjadi 600 unit dengan 1.200 kamar. Adapun rata-rata tingkat hunian pada hari biasa di atas 50%, sementara weekend mencapai 100%.

Bisa dikatakan, proyek Sol Elite Marbella menjadi titik lompat bagi penahbisan Kosmian mengomandani PP. Kesuksesan Sol Elite Marbella membuat Sjukur memercayakan posisi Presdir PP pada anaknya (Mei 1996), sementara dia sendiri menjabat Komisaris Utama. Sebelumnya, Kosmian menjabat Asisten Dirut (1985-1988) dan Direktur Eksekutif (1988-1996).

Namun, menjadi CEO tak serta-merta pula membawa kenikmatan. Amukan krisis moneter ikut menghampiri Kosmian. Salah satu anak perusahaan PP ada yang “nyangkut” di BPPN. Akan tetapi, bukan karena proyeknya yang macet melainkan lantaran bank pemberi kredit (PDFCI) dilikuidasi dan diambil alih BPPN. Pinjaman dari PDFCI digunakan untuk membiayai proyek Sol Elite Marbella.

Demi melunasi utang sekitar US$ 6 juta, beberapa aset properti PP dilego. Di antaranya Hotel Edison di AS, kemudian di Jakarta (town house di Cipete dan kondominium di Kelapa Gading), serta apartemen di Bali. Baru di tahun 2000, utang pokok berhasil dilunasi berikut bunga. Hebatnya, itu tanpa diskon sedikit pun.

Kehilangan aset memang menyakitkan. Namun, selepas tahun 2000 itulah Kosmian seperti menemukan titik pijak berikutnya. Dalam kendalinya sebaga “kapten”, PP sibuk berkonsolidasi sambil mencari berbagai peluang proyek baru. Salah satu yang digarapnya adalah proyek Kota Serang Baru (230 ha) yang sempat tidur selama lima tahun (1997-2002). Sementara Sol Elite Marbella diperluas menjadi kawasan vila dan leisure Bukit Marbella.

Kini, 10 tahun setelah menjadi CEO, diam tapi pasti Kosmian melanjutkan gebrakannya. Pertengahan 2006, ia meluncurkan empat proyek terbarunya. Di antaranya: Marbella Kemang Residence (apartemen strata title 22 dan 20 lantai di atas lahan 7 ha senilai Rp 300 miliar); Marbella Makassar Lagoon Hotel; dan apartemen di Makassar. Bagi Kosmian, khusus proyek Makassar menjadi proyek tersendiri bagi PP. “Karena baru Pudjiadilah yang membangun properti perpaduan hotel dan apartemen di Makassar,” ujar Kosmian mengklaim proyeknya yang senilai Rp 150 miliar di atas lahan 7 ha ini. Terakhir, ia juga membangun Marbella Dago Pakar di kawasan Bukit Dago, Bandung. Proyek senilai Rp 300 miliar di atas lahan 14 ha ini mirip Sol Elite Marbella, tapi memiliki konsep resor di pegunungan.

Karena tak ada makan siang gratis dalam bisnis, Kosmian berjuang keras menjaring peminat untuk proyek-proyek barunya itu. Jurus yang dikembangkannya: Marbella return, semacam guarantee return yang diberikan kepada pembeli unit properti tersebut. Garansi ini dibayarkan penuh tiga tahun di muka. Selain itu, pemilik unit mendapat hak menginap gratis di seluruh jaringan Hotel Sol Melia selama lima kali dalam setahun. Ketiga proyek ini rencananya beroperasi penuh tahun 2008. Adapun pengelolaannya diserahkan kepada Sol Elite Melia dan Hotel Marbella.

Sewaktu membincangkan proyek-proyek terbarunya ini, Kosmian mengaku sangat optimistis. Namun, mengingat nasihat sang ayah, ia juga tetap berhati-hati. Kepada anaknya, Sjukur memang punya petuah berikut: Ambisius adalah sebuah sikap positif, tetapi jangan sampai gegabah, serakah, dan grasa-grusu. Ibarat naik tangga, naiknya satu-satu, tidak boleh sepuluh-sepuluh.

Setelah sempat berdiam di tengah krisis, “Kapten” PP ini tengah menaiki anak tangganya sendiri di atas tangga yang telah dirintis sang ayah. Buah apel memang jatuh tak jauh dari pohonnya.

Ridwan Kamil: Menebar Karya ke Mancanegara


Rabu, 18 Oktober 2006
Oleh : Tutut Handayani

Nama Mochamad Ridwan Kamil kini makin populer di kalangan industri rancang bangun di Indonesia. Pria kelahiran Bandung 4 Oktober 1971 ini sejak 2003 banyak menghasilkan karya arsitektur di berbagai negara, di antaranya Singapura, Thailand dan Cina.

Awalnya adalah ketika pulang setelah lulus kuliah S-2 di University of California, Berkeley, Amerika Serikat, dan bekerja di New York dan Hong Kong (1997-2002). Ridwan mendirikan Urbane Indonesia atau akrab disebut Urbane, jasa konsultan perencanaan, arsitektur dan desain, tahun 2003. Dari pengalaman bekerja di konsultan arsitek dan desain ternama di AS, seperti EDAW San Francisco, AS, yang memiliki cabang di berbagai negara, yakni EDAW Asia dan EDAW Hong Kong, itulah Urbane dipercayai klien-klien asing. Urbane sering mendapatkan proyek desain yang dialihdayakan EDAW. Contohnya, Marina Bay Waterfront Master Plan di Singapura, Suktohai Urban Resort Master Plan di Bangkok, Thailand; dan Shao Xing Waterfront Masterplan di Shao Xing, Cina. Ketiganya melalui EDAW Asia.

Kemudian, Beijing Islamic Centre Mosque di Beijing melalui EDAW Hong Kong. Bukan hanya EDAW, konsultan arsitek dan desain ternama di Hong Kong, Singapura dan Bahrain -- SOM Hong Kong, SAA Singapura dan AJ Vision Bahrain -- pun sudah mengalihdayakan beberapa proyek ke Urbane. Contohnya, Beijing CBD Master Plan di Beijing, Guangzhou Science City Master Plan di Guangzhou dan District 1 Saigon South Residential Master Plan di Saigon, Vietnam. Semua proyek ini melalui SOM Hong Kong. Lalu, Greater Kunming Regional Master Plan dan Kunming Tech Park Master Plan di Kunming, Cina, melalui SAA Singapura dan Ras Al Kaimah Waterfront Master di Qatar-Uni Emirate Arab melalui AJ Vision Bahrain.

Lebih dari 40 rancangan di luar negeri kini telah dihasilkan Ridwan secara pribadi dan Urbane. ”Ada yang saya hasilkan ketika masih bekerja di Amerika dan setelah balik ke Indonesia melalui Urbane,” katanya. Umumnya, semua proyek di luar negeri ini berupa pengembangan kawasan perkotaan seluas 10-1.000 ha. Ridwan mengategorikannya sebagai urban design & redevelopment (UD & R; >10-40 ha) dan regional & community planning (R & C; 1.000 ha).

Melihat skala proyeknya yang dapat disebut megaproyek, maka klien Urbane umumnya adalah institusi pemerintahan, khususnya pemerintah kota. Bagi Ridwan, institusi pemerintah asing memang target pasarnya. Termasuk, jasa rancang UD & R dan R & C.

Sebenarnya, bukan pasar asing saja target sasaran Urbane saat ini. Untuk pasar lokal, selain jasa rancang UD & R dan R & C, Urbane juga menawarkan jasa rancang arsitektur yang fokus pada desain bangunan tunggal (single building) dan mixed-use development (tiga fungsi bangunan dalam satu kapling). Hal itu sudah dilakukannya, misalnya, rancangan single building Menara I Universitas Tarumanagara, Jakarta; Al-Azhar International School di Kota Baru Parahyangan, Bandung; Grand Wisata Community Club House di Bekasi; dan Pupuk Kaltim IT Centre, Balikpapan. Lalu, contoh rancangan mixed-use development-nya adalah Surabaya Festival Walk milik PT Dharmala Intiland di Surabaya dan ANTV Mixed Use Centre milik PT Bakrie Swasakti Utama di Jakarta.

Yang menarik, dalam berhubungan dengan klien, Urbane cenderung mengandalkan kemajuan teknologi informasi, melalui Internet, telepon dan faksimile. Tatap muka? “Jarang sekali kami lakukan,” ujar Ridwan. Ayah Emmeril Khan Mumtadz (7 tahun) dan Cammilia Laetitia Azzahra (2 tahun) ini mengungkapkan, yang penting adalah menjaga kepercayaan dengan “always delivery on time”. Perbedaan waktu yang sangat kontras tidak menjadi penghalang bagi Ridwan dan stafnya untuk menyelesaikan pekerjaan. Bila perlu, sampai menginap di kantor.

Namun, kerja keras tersebut sepadan dengan uang yang diperolehnya. Untuk proyek di luar negeri, Urbane memasang tarif Rp 600 juta-1 miliar per proyek. Sementara untuk pasar lokal, Rp 200 juta-2 miliar per proyek. Mahal? Ridwan menampik tegas. ”Sepadan kok dengan skala luasan rancangan properti yang harus dikembangkan,” katanya. Selain itu, Urbane memiliki pendekatan Envisioning Service. ”Inilah keunikan yang dimiliki Urbane dibandingkan pemain sejenis. Urbane bukan tukang rancang belaka,” katanya bangga.

Bermodal awal sekitar Rp 100 juta, Urbane pelan tapi pasti menata diri menjadi “real global player”. Maksudnya? Anak ke-2 dari 5 bersaudara ini ingin Urbane mendapatkan klien asing secara langsung. Tidak harus melalui konsultan arsitek dan desain asing seperti saat ini. ”Urbane bukan subkontraktor, tapi kontraktor utama,” ujarnya tegas. Targetnya? ”Tahun 2010! Sekarang kami ibaratnya sedang mem-branding diri.”



Menyiasati Bisnis Wine


Senin, 11 Desember 2006
Oleh : Tutut Handayani.

Dua tahun terakhir, Jakarta disemarakkan dengan sejumlah wine lounge (tempat minum anggur). Mulai dari gerai stand alone seperti Vin+, Paprika, Venue, La Fontaine, dan Tipsy, sampai yang berada dalam gedung perkantoran, pusat belanja, dan hotel. Sebut saja Melt Dine & Wine di Gedung BRI II, Sudirman; lalu, Amadeus di Cilandak Town Square; Burgundy di Grand Hyatt; the Cellar di Hotel Four Seasons; Oak Room di Hotel Nikko; dan Bacchus di Hotel InterContinental Mid Plaza.

Lantas, siapakah penikmatnya? Kalangan muda usia rata-rata 25-45 tahun yang menjadikan wine sebagai gaya hidup urban. Bagi mereka, ngewine (minum wine – Red.) sudah seperti menyeruput segelas kopi di kafe. Harga jual yang mahal – bisa mencapai ratusan ribu rupiah – tak jadi soal. Suasana lounge yang cozy dan santailah yang dibeli tamu. Tak heranlah, tempat-tempat yang disebut di atas menjadi pilihan hang out yang sedang tren selayaknya Starbucks Coffee dan Coffee Bean & Tea Leaf. Lalu, bila ingin ngewine di rumah, tinggal beli di wine shop yang berada dalam satu gedung dengan wine lounge tersebut.

Maraknya wine lounge merupakan strategi para peritel wine dalam menyiasati peraturan pemerintah tentang perdagangan minuman anggur. Sebelum 2003, sebotol anggur dapat dibeli bebas di supermarket atau hypermarket. Setelah itu, pemerintah menegaskan penjualan wine harus melalui sektor hotel, restoran dan kafe (horeka). Nah, wine lounge dikategorikan dalam sektor horeka. Mengapa? Dalam wine lounge terdapat menu makanan yang pas dinikmati dengan segelas wine. Contohnya, beef steak yang semakin nikmat rasanya dengan meminum segelas anggur merah.

Keharusan para peritel wine mencari strategi menyiasati aturan, bisa dimaklumi. Pasalnya, berbisnis ritel dan distribusi wine di Indonesia terbilang cukup keras. Selain perizinan, juga ada aturan kuota yang harus dipenuhi distributor dalam mengimpor wine yang ditentukan oleh PPI, asosiasi perusahaan importir Indonesia. Selain itu, ada ketentuan pembayaran pajak di muka saat mengimpor agar mudah mengeluarkan barang dari pelabuhan. Tujuan pembayaran pajak di muka ini agar pasar wine bebas dari barang selundupan yang bakal merusak pasaran harga.

Lantaran sudah harus mengeluarkan uang untuk bayar pajak di muka, maka berbisnis eceran atau distribusi wine jelas memerlukan padat modal dan kejelian pemain dalam menyasar lidah konsumen. Maklum, pembelian dari para winery (produsen anggur), sistemnya beli putus. Artinya, laku ataupun tidak, ditanggung sendiri. Untungnya, antara distributor dengan peritel (customer)-nya berlaku sistem konsinyasi. Tak heran, para distributor wine lebih menekankan peningkatan volume penjualan meski margin keuntungan per botol sangat tipis. Tujuannya supaya sebagian dana yang sudah dikeluarkan untuk pajak di muka dapat tertutup.

Lihatlah pengalaman Suryadi Jaya, Direktur PT Sarana Tirta Anggur yang bergerak di distribusi wine. Untuk memasarkan 300 merek wine impor ke 350 gerai wine yang tersebar di berbagai horeka di Jakarta, ia butuh dana sekitar Rp 1 miliar. Itu hanya untuk investasi di botol anggurnya, belum termasuk sewa tempat, perizinan, pajak, dan sebagainya. Angka ini juga belum memperhitungkan jenis wine seperti apa, dan dengan harga berapa saja yang hendak dipasarkan. Lalu kapan balik modalnya?

Menurut lelaki yang sebelum menjadi distributor pernah berperan sebagai peritel dengan toko bernama the Wine Cellar di Hotel InterContinental Mid Plaza tahun 1997-2003 ini, setidaknya bisa membutuhkan waktu 4-5 tahun untuk mencapai titik impas. Itu pun diembel-embeli catatan: wine yang dijual di kisaran Rp 200-500 ribu per botol, dengan margin laba 40%-50% dari harga jual per botol. “Karena wine seharga Rp 200-500 ribuanlah yang cepat diserap dan banyak diminati pasar sini,” ujar Suryadi. Untuk yang berharga puluhan juta rupiah, hanya kalangan tertentu yang mampu membelinya sebagai barang koleksi.

Lamanya balik modal terkait dengan fakta bahwa jumlah konsumen wine masih sangat terbatas dan belum terbiasa dengan produk ini. Terlebih, citra wine selama ini kadang masih diidentikkan sebagai minuman keras sehingga tidak bisa sembarangan dalam berjualan.

Pendapat senada dinyatakan Yolanda Simorangkir, Manajer Pemasaran Vin+. Baginya, berbisnis wine – baik sebagai distributor maupun peritel – merupakan bisnis jangka panjang dengan perkiraan break even point mencapai empat tahun. Vin+ sendiri berperan cukup luas: mendistributori 800 merek wine untuk beberapa gerai milik peritelnya; di samping menjual eceran untuk konsumen; dan memasok kebutuhan wine lounge-nya.

Saat ditanya mana lebih menguntungkan, Yolanda mengaku bisnis ritel mengganjar laba lebih besar dibanding distribusi. Ia juga mengklaim Vin+ yang berdiri akhir 2004, merupakan pelopor bisnis one stop wine shopping di Tanah Air. Bahkan, Yolanda bertutur bahwa Vin+ tidak hanya berjualan wine, melainkan juga mengedukasi pasar agar tercipta komunitas wine, khususnya kalangan pemula agar semakin paham dan terbiasa dengan produk ini melalui program wine education dan free tasting wine. “Pada ajang ini, diajarkan bagaimana membedakan merek satu dan lainnya, meminum dengan benar, (karena) minum wine tidak selalu identik dengan mabuk,” Yolanda memaparkan. “Jika tahu cara minum wine yang baik dan benar, dapat meningkatkan kesehatan juga,” imbuhnya bak berpromosi.

Bukan cuma Vin+ yang seperti itu. Mayoritas wine shop melakukan hal serupa lantaran visi mereka hampir sama, yakni: mengedukasi pasar sebab masih terbuka lebar, terlebih seiring perubahan gaya hidup masyarakat perkotaan besar yang tumbuh menjadi pusat-pusat bisnis. Sebagai informasi, diperkirakan saat ini terdapat 50 peritel wine di beberapa kota besar Indonesia, yakni di Jakarta (9 peritel), Bali (10 peritel), sisanya tersebar di Bandung, Surabaya, Balikpapan, Manado dan Makassar. Kemudian, ada 8 distributor utama wine se-Indonesia.

“Katakanlah potensi pasar peminum wine, 10% dari total penduduk. Bukankah angka ini indikasi kue pasar wine di sini masih sangat besar?” tanya Yolanda. “Merekalah yang kami bidik,” tambahnya seraya mengklaim bahwa tingkat pertumbuhan penjualan Vin+ selama dua tahun terakhir mencapai sekitar 40% per tahun.

Untuk membetot konsumen, para pemain berupaya memberikan fasilitas terlengkap di wine lounge-nya supaya semakin menjadi tempat yang nyaman untuk hang out atau meeting point. Misalnya, fasilitas hotspot. Lalu, layanan pascajual, membuat daftar keanggotaan (privilege member), dan jasa layanan antar sampai ke rumah. Bisa juga kegiatan mensponsori dua komunitas wine, seperti Wine & Spirit Circle (1.000 anggota) dan Klub Wine (350 anggota), seperti yang dilakukan Vin+. Pokoknya, agar penjualan terus meningkat lantaran seperti diulas di atas, bisnis wine ini tak mudah, termasuk harus membayar pajak di muka.

4848 Rambah Pasar Luar Negeri


Rabu, 20 Desember 2006
Oleh : Tutut Handayani & S. Ruslina

Go international. Inilah impian Dadan Irawan Sarpingi (44 tahun), generasi kedua pemilik jasa taksi/travel 4848, yang menjadi kenyataan. Sejak Juli lalu, 4848 merambah berbagai kota di mancanegara. Di antaranya, Singapura, Kuala Lumpur (Malaysia), Jeddah, Mekkah dan Madinah (Arab Saudi), serta Los Angeles dan New York (Amerika Serikat). Itu masih akan berlanjut. Hingga awal 2007, 4848 siap beroperasi di Toronto, Vancouver (Kanada), Las Vegas, San Diego, San Francisco (AS), Dubai dan Kairo (Timur Tengah).

Sejak menggantikan sang ayah, Irawan Sarpingi – mendirikan 4848 tahun 1959 -- Dadan memang bertekad ekspansi sampai luar negeri. Alumni Jurusan Bisnis Internasional Universitas San Diego, AS (1985-90) ini melihat pasar luar negeri bisa menjadi alternatif menyiasati persaingan bisnis yang makin ketat di Tanah Air. Seperti diketahui, 4848 adalah pionir penyelenggara transportasi -- mengantar dan menjemput penumpang sampai tujuan yang diinginkan -- dengan rute Jakarta-Bandung atau sebaliknya.

Namun, semenjak tol Cipularang dibuka tahun 2005, bisnis semacam 4848 menjamur luar biasa. Puluhan pemain baru bermunculan, dan tidak hanya menawarkan transportasi ke Jakarta, tetapi juga wilayah Jabodetabek. Dampaknya, perang harga antarpemain semakin gencar.

Selain alasan persaingan di dalam negeri, Dadan juga ingin menjadikan 4848 sebagai contoh bagi perusahaan sejenis di Indonesia yang mampu eksis di kancah bisnis dunia. “Kami juga harus bisa menjadi bagian globalisasi itu. Jadi, pemain bukan penonton saja,” ujarnya menegaskan.

Untuk menggarap pasar luar negeri, Dadan membutuhkan waktu persiapan dua tahun. Yakni, mulai dari tes pasar, memilih mitra bisnis, menyiapkan sumber daya manusia, membangun standard of procedure, sampai memahami peraturan dan etika berbisnis di negara tujuan. Untuk itu, Dadan belajar dan menggali informasi di konsulat ekonomi dan perdagangan di setiap negara tujuan. Asalannya, “Supaya kami tidak kecele dalam memilih mitra bisnis.” Pola kerja sama dengan mitra lokal juga dianggap bisa lebih mengamankan bisnis.

Ada dua pola kerja sama yang diterapkan Dadan. Hal ini tergantung pada regulasi bisnis di negara yang bersangkutan. Pertama, sistem kerja sama operasional. KSO ini berlaku di negara-negara yang tidak membolehkan investor asing berinvestasi dalam bentuk penyertaan dana. Contohnya, di Singapura dan Malaysia. Artinya, mitra lokal yang memiliki dan mengelola 4848 Airport Shuttle secara penuh (100%). Pada KSO ini, ada persentase profit sharing: 4848 sebesar 30% dan mitra lokal 70%. Kedua, sistem kerja sama investasi dana. Pola kedua ini berlaku untuk mitra bisnis di Arab Saudi, AS dan Kanada. Untuk tahap awal, nilai kepemilikan saham Dadan sebesar 30% yang jumlahnya bisa ditingkatkan (ada opsi) sampai 49% atau 50%. Sisanya, tentu saja dipegang partnernya. Pengelolaan operasional bisnis dilakukan bersama. Dan, pembagian keuntungan, tentu saja, berdasarkan besaran saham yang dimiliki.

Untuk pasar Arab Saudi, Dadan menggandeng Shaayer, anak usaha Grup Showlaq, perusahaan transportasi milik pengusaha Arab Saudi yang berpengalaman 28 tahun. Di AS, ia bermitra dengan beberapa pengusaha. Hal yang sama dilakukannya di Singapura dan Malaysia: menggandeng pemilik usaha jasa sewa mobil. “Merekalah yang menyediakan dan memiliki mobil sesuai dengan standar 4848,” tutur Dadan.

Meski baru lima bulan berjalan, 4848 yang logonya tertera di bagian dalam dan kaca depan mobil telah mendapatkan pelanggan. Contohnya, General Electric (GE) beserta anak-anak usahanya menjadikan 4848 sebagai referensi, jika stafnya bebergian ke kota-kota yang dirambah 4848. Para tamu Kedutaan Besar RI atau Konsulat Jenderal RI di kota-kota itu juga menggunakan 4848. Bayu Buana Tour & Travel pun menunjuk 4848 sebagai mitra taksi bagi wisatawan yang melancong ke kota-kota yang ada 4848-nya.

Jahja B. Soenarjo, pengamat bisnis dari Direxion Consulting, menilai 4848 jeli melihat peluang. Layanan 4848 menjadi alternatif pilihan konsumen Indonesia di luar negeri. Paling tidak, kehadiran 4848 dapat mengatasi satu kendala: komunikasi. Juga, mengurangi rasa kangen pada Tanah Air. “Apalagi, kalau sopirnya orang Indonesia serta tata cara pelayanannya pun sama dengan di sini, wah pasti banyak yang suka,” ujar Jahja yang turut bangga 4848 berhasil go international.

Blitz Megaplex: (Bakal) Ikon Gaul Anak Muda


Rabu, 20 Desember 2006
Oleh : Tutut Handayani

Tak lama lagi anak muda Jakarta bakal punya tempat gaul yang keren dan asyik. Blitz Megaplex (BM) bukan hanya menyediakan bioskop yang cozy, tapi juga ada kafe – Blitz Digital Cafe – untuk ngeceng (cuci mata – Red.) atau sekadar kongko-kongko. Di kafe ini, pengunjung pun dapat menonton film dari laptop pribadi atau ber-Internet ria sembari mendengarkan alunan lagu dan musik dari grup band atau disk jockey yang live show di panggung khusus. Dengan konsep interior yang ditata apik, BM diperkirakan bakal menjadi ikon gaul anak muda di Ibu Kota.

Adalah Ananda Siregar (31 tahun) dan David Hilman (40 tahun) yang terinspirasi membangun BM. Bermula dari kesukaan menonton film di bioskop, mereka tertarik membangun sarana nonton yang lebih dari yang ada selama ini (Cineplex 21). Untuk itu, karena investasinya sangat besar, selain Ananda yang mantan profesional di Farindo Investment Ltd. yang 90% dan David merogoh koceknya US$ 12 juta (sekitar Rp 120 miliar), mereka juga didanai oleh Quvat Management Pte. Ltd. -- perusahaan investasi yang dijalankan oleh sejumlah mantan karyawan Farallon Capital Management LLC.

Wendy Soeweno, Direktur Pemasaran BM, mengatakan, kerja sama dengan Quvat adalah murni bisnis. “Kami butuh waktu tiga tahun mencari calon investor dan menyakinkan kalau bisnis ini berprospek bagus,” ia menjelaskan. Sebelum berlabuh ke Quvat, lebih dari setengah lusin calon investor telah dijajaki. Akhirnya terpilih Quvat yang bukan hanya pemegang saham, tapi juga sebagai manajer investasi BM.

Untuk gerai pertama, Ananda dan David mencoba Kota Bandung sebagai proyek percontohan (pilot project). Alasannya, menurut Wendy, gaya hidup anak Bandung sesuai dengan positioning BM. Diharapkan, jika bangunan sinepleks bertingkat tiga dengan 9 layar dan kapasitas 2.250 kursi yang dibangun dengan gaya minimalis modern oleh konsultan arsitek Unick dari Glasgow, Skotlandia ini sukses, BM siap beroperasi di Jakarta, tepatnya di Grand Indonesia, Jl. M.H. Thamrin (eks kompleks Hotel Indonesia) dan Pacific Place di SCBD, Jl. Jend. Sudirman, Jakarta. BM di Grand Indonesia rencananya akan menjadi yang terbesar karena menyediakan 11 layar dengan 3.300 kursi. Setelah itu, menyusul BM di kawasan Pluit dan Kelapa Gading.

Menurut Wendy, sesuai dengan isi kantong remaja, BM tidak akan mematok tiket mahal. Harga tiket yang ditawarkan cuma Rp 25 ribu untuk film Hollywood dan Rp 15 ribu untuk film non-Hollywood. Namun, untuk satu gerai saja – seperti di Bandung – BM siap memutar 14-16 judul film per harinya.

Ananda dan David tampaknya serius menggeluti bisnis barunya. Kendati keduanya belum pernah menjadi entrepreneur, Wendy menuturkan, manajemen sangat optimistis terhadap peluang pasar baru ini. Mereka yakin konsumen film Indonesia butuh alternatif tempat baru untuk menonton film. Khususnya anak-anak muda usia kuliah (17-24 tahun) yang menjadi pangsa pasar utama BM. “Mereka butuh bukan sekadar tempat nonton film yang datang, masuk studio terus pulang,” ungkap Wendy. Artinya, BM juga bisa menjadi tempat hang out atau gaul buat anak-anak usia kinyis itu. Dan sesuai dengan slogan citra (tag line)-nya, Beyond Movies, BM bertekad membangun gaya hidup baru dalam industri sinepleks di Tanah Air.

Yang menarik, pengunjung nantinya tidak hanya disuguhi film Hollywood, tapi juga film Indonesia, Asia dan Eropa. Bahkan, film-film independen yang hanya diperuntukan bagi komunitas tertentu. Untuk itu, duet pengusaha muda ini bersama Wendy sudah mulai belanja film di pasar film internasional, seperti di American Film Market di Santa Monica, Amerika Serikat, yang memutar 589 judul film dan dihadiri produsen film dari 70 negara.

Kini, BM menjalin kerja sama dengan Cineclicik Asia dan IHQ, produsen film asal Korea Selatan. Juga, bermitra dengan Voltage Pictures, Capitol Film, Fabrication Film, MK Pictures, dan CJ Entertainment, oleh-oleh dari Festival Film Internasional Cannes di Prancis. Selusin film berhasil dibelinya untuk menambah stok film BM. “Kami harus door-to-door mengenalkan dan memasarkan Blitz kepada para produsen film,” papar Wendy.

Selain itu, guna meningkatkan kualitas film-film yang bakal ditayangkan, BM sengaja menggaet San Fu MalthaĆ¢ (mantan eksekutif Polygram dan pemilik A-Film (produsen film terbesar di Belanda) sebagai konsultan BM dalam hal pembelian dan pemilihan film. Kemudian, lewat Golden Screen Cinema (GSC), distributor dan raja sinepleks terbesar di Malaysia milik Robert Kuok, BM menjalin kerja sama bisnis dengan Universal Studio, Miramax, New Line Cinema, Fortissino, dan Pandora. Tak hanya itu, GSC menjadi pelatih bagi manajemen dan staf BM, khususnya level manajer sinema yang bertanggung jawab atas setiap gerai BM dan projectionist (pemutar film).

Belajar Sulap, Yuk!


Kamis, 10 Mei 2007
Oleh : Tutut Handayani

Dunia memang benar-benar dinamis. Terbukti, para pesulap yang dulu tak ubahnya dipandang seperti badut – penghibur di acara ulang tahun anak-anak – sekarang naik kelas. Saksikanlah di televisi, mereka menjadi tokoh yang kerap dinanti pemirsa dengan bayaran lumayan. Deddy Corbuzier, Adri Manan, dan Damien mereguk puluhan juta rupiah hanya dengan bermain sulap selama 30 menit. Tak heran, tak sedikit orang ingin seperti mereka. Dan melihat animo masyarakat yang ingin seperti mereka, beberapa pesulap menangkapnya jadi peluang bisnis. Maka berdirilah sekolah-sekolah sulap.

Magic Station’s Magic School, umpamanya. Dibesut Didi I Pusu empat tahun lalu, sekolah ini memiliki metode pengajaran yang merupakan perpaduan kurikulum sejumlah sekolah sulap mancanegara. Di sini ada Basic I, Basic II, Intermediate, dan Advance. Untuk jenjang Intermediate ada kelas Stage Magician dan Close Up Magician. Masing-masing tingkat berlangsung tiga bulan dengan masa belajar rata-rata dua kali seminggu selama dua jam. Untuk lolos ke tingkat berikutnya, ada ujian yang wajib diikuti siswa meliputi penguasaan trik atau penciptaan trik terbaru, dan penampilan sebagai entertainer. “Belum pernah ada sekolah sulap yang dikelola formal semacam ini,” tukas Didi, lajang kelahiran Pekalongan 22 April 1978.

Pendapat senada dinyatakan Erick Wesz, Manajer Midas Magic School. Tiga tahun lalu, Midas yang berlokasi di Midas Magic House (restoran milik Deddy Corbuzier) di kawasan Sudirman Central Business District, Jakarta, bernama Pentagram School of Magic. Didirikan Deddy, Midas memiliki jenjang pendidikan yang masing-masing berlangsung tiga bulan dengan waktu latihan seminggu sekali selama dua jam. Di sini, ada kelas pemula 1-3 untuk mempelajari beragam dasar permainan sulap. Setiap naik tingkat, ada semacam tes. Kalau ingin lebih mahir dan terspesialisasi, dapat melanjutkan ke Advance.

Di kelas Advance, murid bukan hanya belajar trik sulap tingkat tinggi, melainkan juga dasar-dasar psikologi dan cara beraksi di depan orang banyak, seperti tenik dasar teatrikal. Selain itu, di kelas ini pula siswa dapat mengambil beberapa jurusan, seperti: Mentalism (membaca pikiran orang); Illusion (seakan-akan memiliki kekuatan supranatural); Pick Pocket (memindahkan barang orang lain dari jauh); Escapology (melepaskan diri dari ikatan atau ruang terkunci); Close Up (mempraktikkan sulap dari jarak dekat); dan Cardician (menyulap kartu). Para murid dibimbing Deddy Corbuzier, Erick Wesz, Bow Vernon, Oge Arthemus, dan Decky San. Tiga nama terakhir ini pernah memecahkan rekor MURI dengan melakukan pertunjukan sulap selama 70 jam nonstop.

Tertarik belajar? Siapkan mental, dan tentu saja kantong Anda. Di Magic misalnya, tidak mudah menjadi siswa Didi Pusu. Calon murid harus lulus serangkaian wawancara untuk melihat sejauhmana komitmennya. Setelah itu, keluarkan uang untuk keperluan berikut: ujian masuk Rp 1 juta; biaya sekolah mencapai Rp 450-500 ribu per bulan; dan fulus yang lebih besar untuk alat-alat. Maklum, harga peralatan untuk praktik di rumah (luar sekolah) cukup mahal. Bayangkan, satu koin khusus bisa berharga lebih dari Rp 500 ribu. Belum lagi berbagai macam kotak atau peti yang bisa mencapai jutaan atau puluhan juta rupiah karena kualitas impor. “Alat-alat ini juga untuk melatih kreativitas murid melahirkan berbagai macam teknik terbaru dan berinovasi dalam penampilan di muka publik,” tukas Didi.

Menimbang biaya, baik Didi maupun Erick tidak menampik kalau belajar sulap itu “mahal” dan umumnya siswa berasal dari kalangan menengah-atas. Nyatanya, hal ini tak menyurutkan minat publik untuk belajar. Magic kini memiliki 80 siswa lebih yang berusia 8-20 tahun; sedangkan Midas baru merangkul 15 murid dengan usia 17-25 tahun. Cara meraih siswa umumnya melalui getok tular di kalangan siswa dan mantan siswa plus komunitas pesulap, serta pecinta benda-benda sulap.

Yang menarik, selulus dari kedua sekolah sulap ini, murid dapat bergabung dengan tim manajemen yang akan terus mengasah jam terbang dalam berpraktik sebagai entertainer sulap yang beraksi di berbagai macam panggung atau event. “Mereka ini akan diikutkan ke berbagai acara yang menggunakan jasa Magic Station’s,” papar Didi. Contohnya, peluncuran produk atau ulang tahun perusahaan dengan tema acara yang disesuaikan dengan keinginan klien. Tarifnya lumayan, bisa Rp 4-20 juta per jam dengan menampilkan
2-3 macam permainan. Didi dan Erick dikenal sebagai pesulap profesional yang sering diminta berbagai macam perusahaan untuk unjuk kebolehan dengan tarif di atas Rp 15 juta per jam. “Namun, sekarang saya lebih banyak tampil bersama siswa atas nama tim Magic,” Didi menegaskan.

Umumnya, alasan murid belajar sulap karena ingin menjawab rasa penasaran akibat senang menonton sulap. Selain itu, melatih rasa percaya diri, fokus, dan supaya bisa menghibur teman atau keluarga. Alasan lain? “Supaya mudah menarik perhatian cewek!,” kata Dika Zero, siswa berusia ABG dari Magic, sambil tertawa. Sementara alasan Adjie Sudrajat, murid Midas, didasari keinginan menyalurkan hobi dan kecintaannya pada dunia sulap yang bisa dipraktikkan di pesta teman atau keluarga. “Bukan sebagai profesi tetap,” ujar Adjie yang sudah belajar sulap hampir 9 bulan.

Ke depan, tak mustahil mereka berubah pikiran kalau ilmu yang mereka pelajari ternyata bisa mengubah banyak hal dalam hidupnya. Siapa tahu, namanya juga sulap. Abrakadabra!

Puji Purnama: Stylist-nya Makanan


Rabu, 25 April 2007
Oleh : Tutut Handayani

“Apa sih food stylist?,” Puji Purnama sering kali menerima pertanyaan ini. Dengan semangat, pria kelahiran Palembang 16 Juli 1970 ini menjelaskan profesinya yang tidak familier di telinga orang awam. Menurutnya, food stylist – profesi yang dianggap paling menarik di dunia versi Majalah Time – adalah mirip dengan hair stylist dan make up artist dalam urusan rambut ataupun wajah. Bedanya, ini stylist untuk makanan dan minuman. Jadi, makanan atau minuman ditata secantik mungkin agar terlihat fotogenik dan “bernyawa” di depan kamera, sehingga bisa menerbitkan selera siapa pun yang melihatnya. “Food stylist dibutuhkan dalam produksi iklan komersial televisi dan cetak, atau untuk kepentingan photo session majalah dan buku,” Puji menerangkan.

Boom iklan makanan dan minuman awal tahun 1995-an membuka peluang atas hadirnya profesi tersebut. Sayangnya, diakui Puji, orang Indonesia yang menekuni profesi ini bisa dihitung dengan jari. Food stylist kebanyakan ekspatriat. “Kami nyaris tidak punya food stylist untuk film iklan,” katanya seraya menambahkan bahwa dulu ada Bu Siska yang sekarang lebih sering tampil dalam acara demo masak.

Pekerjaan food stylist memang unik. Yang pasti, dibutuhkan kesabaran yang luar biasa dan citarasa tinggi. Harus sabar karena produksi film iklan membutuhkan waktu lama dan panjang. Food stylist harus stand-by seharian penuh atau bahkan berhari-hari.

Dengan keahlian yang sangat khusus dan ritme kerja seperti itu, tak heranlah, imbalannya pun cukup lumayan. Puji mengatakan, rata-rata ia memperoleh 10-20 pekerjaan setiap bulan. Jika masing-masing pekerjaan senilai Rp 10-20 juta, berarti Puji bisa mendapat penghasilan kotor sekitar Rp 150 juta per bulan. Namun, jika dibandingkan dengan food stylist asing – misalnya Singapura, yang tarifnya mencapai Sing$ 1.500- 2.000 per 8 jam – tarif Puji jauh lebih efisien.

Diceritakan Puji, agar memperoleh hasil optimal, biasanya ia turut dalam memasak dan menguji makanan atau minumannya. Tak segan-segan ia berbelanja bahan sendiri sampai menyiapkan foto yang bagus. Pendeknya, Puji selalu berorientasi bagaimana bisa menghemat biaya produksi iklan.

Agar lebih sempurna profesinya, kini Puji juga tengah mengasah keterampilan pemotretan. Ayah dua putri ini membekali diri dengan berbagai pengetahuan tentang teknik fotografi baik manual maupun digital, termasuk desain imaging meski dalam bekerja dibantu oleh fotografer. Wawasan estetika ruang dan komposisi warna pun didalaminya selain meng-update berbagai pengetahuan dunia kuliner dengan banyak belajar dari chef sekolah masak di Hong Kong, Bangkok dan Italia. Bahkan, seluk-beluk dunia periklanan pun dipelajarinya supaya makanan yang disajikan mempunyai nilai jual tinggi.

Rupanya tamatan Le Gordon Bleu, Prancis ini menyadari profesi yang sudah ditekuninya selama 12 tahun itu merupakan bagian penting dari proses pemasaran sebuah produk. Maka, dia harus mampu mengatasi mood yang mudah berubah manakala mengalami kebuntuan ide. Apalagi ketika berhadapan dengan fotografer dan klien (pemilik produk) yang umumnya demanding dan perfeksionis. Padahal, Puji mengaku, dirinya pun perfeksionis.

Dalam bekerja, dia bisa “mengatur cara masak” koki dari klien restorannya, agar makanan yang ingin ditampilkan sesuai untuk pemotretan. Atau, dia yang akan memasak sendiri di dapur restoran atau di rumahnya. Proses memasak dan pemotretan pun bisa berulang kali. Puji mengenang saat pembuatan iklan pancake yang membuat ruangannya dipenuhi pancake dan cherry di tahun 1995. “Bayangkan, saya bolak-balik membuat pancake agar sampai mendapat kesan yang tepat,” ungkapnya.

Iklan pancake milik Unilever tersebut merupakan debut karier Puji sebagai food stylist. Sampai sekarang, lebih dari 120 objek makanan-minuman yang pernah digarap Puji. Hampir 10 besar biro iklan ternama dan perusahaan besar di Indonesia telah menjadi kliennya. Sebut saja, Pizza Hut; Unilever (Blue Band, Bango, Royco, Walls, Skippy, dan Knorr); Bogasari; Indofood (Bimoli, Simas, Indomie, dan Indo Meiji); Nestle (Maggi, Nescafe, Milk Maid, dan Carnation); Kraft; McDonald's; Dunkin' Donuts; JCO Donuts & Coffee; ABC (kecap, sirup, saus, dan mi instan); Suba Indah (Farmhouse, Marjan, dan Sunquick); Ajinomoto; dan masih banyak lagi. Lahan kerja Puji pun meluas ke bidang nonmakanan. Contohnya, sebuah perusahaan elektronik (Samsung – Red.) pernah meminta Puji menata isi kulkas yang siap difoto untuk iklan.

Tentunya, Puji bekerja dengan berbagai alat bantu agar penampilan produk semakin cantik. Tools box dengan isi yang beragam selalu menemaninya bertugas. Contohnya, kuas untuk mengoles minyak, blow torch yang bisa membuat makanan gosong di beberapa bagian tertentu, dan alat semprot vapour/smoke effect agar timbul kepulan asap untuk memberi kesan hangat. Supaya es krim atau cokelat tidak leleh karena pencahayaan (lighting), dia mengolah mentega putih dan kentang rebus semirip mungkin sebagai bahan penggantinya.

Untuk penghias, Puji memakai garnish dan peranti makanan. Pemilihan garnish dan peranti makanan, ia menyarankan, jangan sampai mengalahkan pamor makanannya. “Jangan sampai dekorasi lebih kuat dari makanan itu sendiri,” tandasnya. Namun, bukan berarti peranti yang dipakainya itu-itu saja. Mantan Redaktur Boga Majalah Selera, Primarasa Femina, dan Santap ini sangat gemar berbelanja peranti makanan dan minuman dengan desain lawas dan terkini. Sudah ribuan jumlahnya sampai dia membangun sebuah ruangan, dilengkapi dengan staf khusus yang bertugas menyimpan dan merawatnya. Koleksinya ini pun memberikan penghasilan tambahan, karena sering dipinjam oleh rumah produksi atau biro iklan untuk kepentingan sinetron ataupun foto. Di luar ini, Puji juga dipercaya sebagai konsultan pengembangan resep, penguji masakan, dan membuat standar presentasi penyajian makanan bagi kepentingan penjualan pebisnis horeka dan produsen makanan-minuman. Sarjana boga dari IKIP Jakarta ini juga sering diminta menjadi juri berbagai lomba masak, seperti Alez Cuisine di Indosiar.

Impian Puji, semakin banyaknya food stylist lokal dan mampu berkiprah di luar negeri. Berkat prestasinya ini, pebisnis horeka luar negeri, seperti dari Singapura dan Malaysia, sering memintanya untuk bergabung sebagai pegawai tetap. Salary yang ditawarkan bisa mencapai puluhan juta per bulan. Namun, Puji mengaku lebih senang bekerja sebagai food stylist independen. “Saya beruntung bisa berada di profesi ini walaupun otodidak, belajar sambil jalan,” ucapnya.

Wira, Animator Penembus Hollywood

Kamis, 24 Mei 2007
Oleh : Tutut Handayani

“Udah gede, kok senang film kartun. Aneh banget!” Olok-olok ini sering mampir di telinga Wira Winata sejak ia jadi ABG (anak baru gede) sampai sekarang. Namun, ejekan itu tak menyurutkan kecintaannya pada dunia kartun atau animasi. Bahkan, berkat kartun pula, ia mengukir prestasi tinggi: satu-satunya animator Indonesia yang berhasil menembus pasar Hollywood. Plus, sukses mengembangkan bisnis rumah produksi animasi bernama Shadedbox yang berkantor di Pasadena, Amerika Serikat, dengan klien yang tidak sembarangan: Disney TV, Buena Vista Games, Sony Computer Entertainment of America, Microsoft, Midway Games dan Landor.

“Dari hobi menjadi duit” sepertinya ungkapan yang pas buat lajang 30 tahun ini. Sejak usia prasekolah, Wira memang gemar menggambar tokoh-tokoh kartun. Selain tokoh top dunia semacam Donald Duck, Superman, Batman, Spiderman dan Flash Gordon, tokoh imajinasi pribadinya pun tak luput digambarnya. Namun, lantaran semata-mata hobi, Wira tidak mengimbanginya dengan pendidikan khusus agar keterampilan menggambarnya makin terasah. Situasi baru berubah kala mengenal mata kuliah desain produk ketika studi manufacturing engineering di Nanyang Polytechnic Singapura. “Ternyata, pelajaran desain produk mampu membuat kualitas gambar saya semakin rapi dan terstruktur,” ungkapnya. Agar kian terampil, selulus dari Nanyang, ia terbang ke Pasadena, untuk kuliah desain produk di Art Centre College of Design. Di sana, ia fokus pada keahlian rancang produk tiga dimensi.

Jelang tahun terakhir kuliah di Art Centre awal 2000, Wira mengajak tiga temannya yang memiliki passion sama membuat film animasi pendek. Mereka adalah Mike Frantum, Joey Jones dan Jason Du -- kelak ketiganya menjadi partner Wira dalam mendirikan Shadedbox pada November 2001. Minimnya pengalaman memproduksi film membuat target penyelesaian molor, dari 6 bulan menjadi setahun.

Awalnya, film pendek berjudul The Little Red Plane itu bukan untuk komersial. “Hanya untuk menjadi final project sebagai syarat kelulusan kuliah kami,” Wira menjelaskan. Proyek ini dikerjakan di apartemen seluas 35 m2 milik Mike. Iseng-iseng, pada 2001-03 mereka mengirimkan film tersebut ke berbagai festival animasi internasional. “Tujuannya sih, pengen tahu aja kelebihan dan kekurangan animasi kami plus tambah wawasan,” katanya.

Di luar dugaan, The Little Red Plane meraih banyak penghargaan bergengsi, seperti medali emas pada ajang Student Emmy Award dan Dances with Films, serta piala kristal dari Festival Film Heartland. Bukan hanya itu, film ini pun ditayangkan secara khusus pada Festival Film Cannes yang membuat Shadedbox mendapat sorotan kalangan kritisi film kartun dan pelaku industri animasi dunia. Tentu saja, termasuk Wira, sebagai sutradara belia -- saat itu ia berusia 25 tahun.

Prestasi ini mengantarkan Wira dan Shadedbox berkenalan dengan industri film komersial. Mereka bertemu dengan berbagai macam perusahaan talent management atau entertainment agency yang mengajak berbisnis bersama untuk produksi film animasi komersial. Inilah awal masuk ke pasar Hollywood yang segera diikuti tawaran-tawaran studio besar.

Saat ini Shadedbox mengerjakan proyek film bersama Cartoon Network dan The Gotham Group. Model kerja samanya: Shadedbox berperan sebagai tim kreatif, sementara Cartoon Network dan The Gotham Group sebagai manajemen dan pemasarnya. Ada juga yang sistem jual putus, contohnya karya Shadedbox dibeli Walt Disney Feature Animation. Di luar film animasi komersial, Wira dkk. mengerjakan pula berbagai proyek animasi untuk kepentingan iklan, efek visual video musik, architectural web dan video game cinematics. “Kami baru saja selesai membuat iklan animasinya Air Transport Authority,” ujar Wira. Contoh lainnya, iklan animasi Burger King, Toyota Yaris, dan film Desperate Housewives versi animasinya. “Lumayanlah buat nambah-nambah cash flow Shadedbox,” kata Wira, mengelak menyebutkan nilai nominal proyeknya.

Agar lebih sukses lagi, pada 2007 Shadedbox mulai aktif memasarkan jasa melalui Internet, seminar, atau konferensi animasi, selain secara getok tular. Impian Wira dkk. memang cukup tinggi: Shadedbox menjadi studio film animasi independen, dan sukses seperti Pixar, Ghibli dan Aardman. Bukan cuma itu, mereka pun ingin seperti para pembuat film kenamaan semacam Brad Bird, John Lasseter, Hayao Miyazaki dan Quentin Tarantino.

Sukses di AS tak membuat Wira lupa Tanah Air. Kini ia menjajaki kemungkinan memasarkan jasa produksi animasi Shadedbox di Indonesia. Hanya saja, “Masih belum ketemu investor, partner dan waktu yang tepat,” ujarnya. Ia melihat kebudayaan Indonesia yang kaya cerita tradisional anak-anak belum ditampilkan dalam bentuk animasi. “Biar anak-anak Indonesia mendapatkan tontonan yang pas untuk usianya,” kata si penembus Hollywood ini penuh harap.


(Note : Saat meliput sajian utama tentang Kiprah Bisnis TP Rachmat, mantan petinggi Astra International)


Tjan Swie Yong:

“Pantaslah Dia Sukses”


penulis : Tutut Handayani


Sudah 46 tahun Tjan Swie Yong berkawan dengan T.P. Rachmat. Tentu, bukan hal mudah menjalin keakraban hingga selama itu. “Batu kerikil” pun pernah hadir di antara mereka. Wajar saja, karakter mereka berbeda. Tjan cenderung terbuka dan blak-blakan dalam menyampaikan sesuatu. Sementara Teddy, cenderung tertutup dan bertutur halus. Namun, perbedaan tidak pernah sampai menghancurkan persahabatan yang terjalin.

Awalnya, diakui Tjan, Teddy sempat terkaget-kaget dengan caranya berbicara dan bersikap yang straight to the point. Kalau marah, wajah Teddy terlihat datar-datar saja. “Beda dari saya. Orang pun langsung tahu kalau saya marah,” kata Tjan seraya tetawa. Hal ini kadang jadi penyebab pertengkaran mereka. “Tujuannya sih sama, tapi beda cara nyampeinnya. Kalau marahan, nggak pernah sampai berlarut-larut,” tambahnya. Dari Teddy-lah, Tjan belajar lebih sabar. Sebaliknya, Teddy jadi lebih mau terbuka.

Semua keakraban itu bermula di bangku kuliah Fakultas Teknik Jurusan Mesin ITB. Tjan adalah teman seangkatan Teddy (tahun 1961). Lulusnya pun bareng, tahun 1968. Bahkan, bersama sejumlah teman, mereka pernah serumah di kawasan Gatot Soebroto, Bandung. Rumah ini, dijelaskan Tjan, milik orang tua Teddy yang tak ditempati.

Sebenarnya, Teddy bisa saja tetap tinggal bersama orang tuanya yang tak jauh dari rumah itu. Namun, ia lebih memilih berkumpul bersama Tjan dan lainnya. Sepeser pun, Tjan dan lainnya tidak dimintai bayaran. Tentu, hal ini menyenangkan hati Tjan sebagai mahasiswa rantau dengan uang saku bulanan terbatas. Namun, “Kami tetap tahu diri,” tukasnya. Bersama kawan lainnya, mereka patungan membayar semua kebutuhan sehari-hari. Awalnya, Teddy menolak iktikad teman-temannya itu. Setelah dijelaskan Tjan maksud baik dari patungan ini, Teddy pun dapat menerima. Bahkan, ia pun ikut patungan. Dan kalau uang kiriman telat, Teddy tak segan meminjamkan uangnya dan mentraktir kawan-kawannya.

Waktu 7 tahun cukuplah buat mengenal karakter seseorang. Di mata Tjan, Teddy sosok yang sangat tahu apa yang diinginkannya. Ketika ditanya mau jadi apa setelah lulus kuliah, Teddy serta-merta menjawab ingin menjadi orang sukses dan kaya. Sementara yang lain, termasuk Tjan, cenderung bersikap bagaimana nanti saja. “Wong lulus saja belum,” kata Tjan lalu ketawa. Tentu saja jawaban Teddy menimbulkan keheranan di benak Tjan dkk. “Mau kaya seperti apa lagi sih Teddy ini,” tanya Tjan kala itu. Bukankah Teddy sudah anak orang kaya dan terpandang di Bandung. Atas pertanyaan ini, Teddy menjawab dengan lugas, “Yang kaya itu ayah ibu saya. Saya belum kaya dan bukan siapa-siapa.”

Teddy juga sangat disiplin dalam belajar, dan gemar membaca. Ia punya jadwal belajar yang selalu ditepatinya meski cuma 10 menit. Di mana saja dan dalam suasana apa pun, ia sempatkan membaca buku. Berbeda dari Tjan dan kawan lainnya. Contohnya, keletihan menempuh perjalanan Bandung-Surabaya dalam rangka partisipasi Pekan Olah Raga Mahasiswa (POM), tidak menurunkan semangat Teddy belajar, sekalipun ia tercatat sebagai atlet dalam POM itu. “Sempat-sempatnya ia baca diktat! Saya? Lebih senang bercanda atau banyak tidur,” kata Tjan. Rasa capek sepulang ajang POM, tidak dihiraukan Teddy. “Ia tetap saja masuk kuliah keesokan harinya. Saya dan yang lain, lebih memilih tidur di rumah,” tambahnya.

Kutu buku? Tidak juga. Menurut Tjan, kalau meminjam istilah anak sekarang, Teddy dapat disebut anak gaul. Bersama Tjan, Teddy senang menghadiri pesta dansa. “Cukup mahir ia berdansa. Saya saja kalah!,” katanya. Atau, sekadar kongko-kongko sambil makan makanan kaki lima. Sup kaki kambing salah satu favoritnya. Teddy tidak jengah sama sekali duduk di kaki lima. Tjan paling senang kalau mengajak Teddy berburu makanan enak mengelilingi Kota Bandung. Mereka berdua sama-sama pecinta makanan. Kebiasaan ini masih dilakukan meski tidak sesering dahulu. Ruang lingkupnya bukan Kota Kembang saja, tapi sudah merambah ke kota lain.

Keunikan lain Teddy adalah kegemarannya pada warna putih. Semasa kuliah sampai sekarang, koleksi bajunya mulai dari kaus sampai kemeja, mayoritas berwarna putih. Padanan celananya pun hitam, biru tua dan cokelat tua. Saking ingin tahunya, Tjan bertanya pada Teddy. Jawabannya: putih adalah warna yang simpel, elegan, jernih, bersih, tidak mencolok, dan mudah dipadupadankan. Ketika sama-sama bekerja, Tjan paham akan makna warna putih kegemaran karibnya itu. “Itu sangat Teddy banget yang mencerminkan pemikiran dan perilaku dalam mengelola bisnis dan kesehariannya,” ungkap Tjan.

Tjan sendiri mencoba menelaah makna warna putih bagi Teddy. Putih itu simpel yang berarti segala sesuatu hadir dari hal-hal yang kecil. Tidak langsung besar. Jernih, segala sesuatu harus jelas dan lugas. Elegan, berarti harus rendah hati bukan sombong. Bersih adalah cerminan penerapan nilai-nilai Good Corporate Governance. Mudah dipadupadankan, artinya sebagai pelaku bisnis harus cepat adaptif dan fleksibel dengan perubahan pasar. Hal ini pernah disampaikan Tjan kepada Teddy. “Dia hanya tersenyum penuh arti. 'Ah, itu bisa-bisa you saja',” Tjan menirukan ucapan Teddy.

Saking sederhananya, Teddy pun tak malu jika baju dan warna putihnya terlihat lusuh. Teman-temannya, termasuk Tjan, pernah menyatakan keberatan atas kebiasaannya itu. Teddy pun tak marah dan mau mendengarkan saran kawan-kawannya. “Alasannya sih, karena merasa lebih nyaman dan adem saja,” tukas Tjan. Pelan-pelan, Teddy mau berubah menjadi lebih necis meski celana panjang yang agak jingkrang (kependekan – Red.) masih sering dipakainya. Sekarang, Tjan dan Teddy sesekali main golf bersama di Rancamaya Golf Estate. Jika melihat sepak terjang dan sikap Teddy sejak kuliah sampai sekarang, hanya sebuah kalimat sederhana diucapkan oleh mantan petinggi di Grup Astra ini: “Pantaslah dia sukses.”


URL : http://www.swa.co.id/swamajalah/sajian/details.php?cid=1&id=5701