6.28.2007

Menyiasati Bisnis Wine


Senin, 11 Desember 2006
Oleh : Tutut Handayani.

Dua tahun terakhir, Jakarta disemarakkan dengan sejumlah wine lounge (tempat minum anggur). Mulai dari gerai stand alone seperti Vin+, Paprika, Venue, La Fontaine, dan Tipsy, sampai yang berada dalam gedung perkantoran, pusat belanja, dan hotel. Sebut saja Melt Dine & Wine di Gedung BRI II, Sudirman; lalu, Amadeus di Cilandak Town Square; Burgundy di Grand Hyatt; the Cellar di Hotel Four Seasons; Oak Room di Hotel Nikko; dan Bacchus di Hotel InterContinental Mid Plaza.

Lantas, siapakah penikmatnya? Kalangan muda usia rata-rata 25-45 tahun yang menjadikan wine sebagai gaya hidup urban. Bagi mereka, ngewine (minum wine – Red.) sudah seperti menyeruput segelas kopi di kafe. Harga jual yang mahal – bisa mencapai ratusan ribu rupiah – tak jadi soal. Suasana lounge yang cozy dan santailah yang dibeli tamu. Tak heranlah, tempat-tempat yang disebut di atas menjadi pilihan hang out yang sedang tren selayaknya Starbucks Coffee dan Coffee Bean & Tea Leaf. Lalu, bila ingin ngewine di rumah, tinggal beli di wine shop yang berada dalam satu gedung dengan wine lounge tersebut.

Maraknya wine lounge merupakan strategi para peritel wine dalam menyiasati peraturan pemerintah tentang perdagangan minuman anggur. Sebelum 2003, sebotol anggur dapat dibeli bebas di supermarket atau hypermarket. Setelah itu, pemerintah menegaskan penjualan wine harus melalui sektor hotel, restoran dan kafe (horeka). Nah, wine lounge dikategorikan dalam sektor horeka. Mengapa? Dalam wine lounge terdapat menu makanan yang pas dinikmati dengan segelas wine. Contohnya, beef steak yang semakin nikmat rasanya dengan meminum segelas anggur merah.

Keharusan para peritel wine mencari strategi menyiasati aturan, bisa dimaklumi. Pasalnya, berbisnis ritel dan distribusi wine di Indonesia terbilang cukup keras. Selain perizinan, juga ada aturan kuota yang harus dipenuhi distributor dalam mengimpor wine yang ditentukan oleh PPI, asosiasi perusahaan importir Indonesia. Selain itu, ada ketentuan pembayaran pajak di muka saat mengimpor agar mudah mengeluarkan barang dari pelabuhan. Tujuan pembayaran pajak di muka ini agar pasar wine bebas dari barang selundupan yang bakal merusak pasaran harga.

Lantaran sudah harus mengeluarkan uang untuk bayar pajak di muka, maka berbisnis eceran atau distribusi wine jelas memerlukan padat modal dan kejelian pemain dalam menyasar lidah konsumen. Maklum, pembelian dari para winery (produsen anggur), sistemnya beli putus. Artinya, laku ataupun tidak, ditanggung sendiri. Untungnya, antara distributor dengan peritel (customer)-nya berlaku sistem konsinyasi. Tak heran, para distributor wine lebih menekankan peningkatan volume penjualan meski margin keuntungan per botol sangat tipis. Tujuannya supaya sebagian dana yang sudah dikeluarkan untuk pajak di muka dapat tertutup.

Lihatlah pengalaman Suryadi Jaya, Direktur PT Sarana Tirta Anggur yang bergerak di distribusi wine. Untuk memasarkan 300 merek wine impor ke 350 gerai wine yang tersebar di berbagai horeka di Jakarta, ia butuh dana sekitar Rp 1 miliar. Itu hanya untuk investasi di botol anggurnya, belum termasuk sewa tempat, perizinan, pajak, dan sebagainya. Angka ini juga belum memperhitungkan jenis wine seperti apa, dan dengan harga berapa saja yang hendak dipasarkan. Lalu kapan balik modalnya?

Menurut lelaki yang sebelum menjadi distributor pernah berperan sebagai peritel dengan toko bernama the Wine Cellar di Hotel InterContinental Mid Plaza tahun 1997-2003 ini, setidaknya bisa membutuhkan waktu 4-5 tahun untuk mencapai titik impas. Itu pun diembel-embeli catatan: wine yang dijual di kisaran Rp 200-500 ribu per botol, dengan margin laba 40%-50% dari harga jual per botol. “Karena wine seharga Rp 200-500 ribuanlah yang cepat diserap dan banyak diminati pasar sini,” ujar Suryadi. Untuk yang berharga puluhan juta rupiah, hanya kalangan tertentu yang mampu membelinya sebagai barang koleksi.

Lamanya balik modal terkait dengan fakta bahwa jumlah konsumen wine masih sangat terbatas dan belum terbiasa dengan produk ini. Terlebih, citra wine selama ini kadang masih diidentikkan sebagai minuman keras sehingga tidak bisa sembarangan dalam berjualan.

Pendapat senada dinyatakan Yolanda Simorangkir, Manajer Pemasaran Vin+. Baginya, berbisnis wine – baik sebagai distributor maupun peritel – merupakan bisnis jangka panjang dengan perkiraan break even point mencapai empat tahun. Vin+ sendiri berperan cukup luas: mendistributori 800 merek wine untuk beberapa gerai milik peritelnya; di samping menjual eceran untuk konsumen; dan memasok kebutuhan wine lounge-nya.

Saat ditanya mana lebih menguntungkan, Yolanda mengaku bisnis ritel mengganjar laba lebih besar dibanding distribusi. Ia juga mengklaim Vin+ yang berdiri akhir 2004, merupakan pelopor bisnis one stop wine shopping di Tanah Air. Bahkan, Yolanda bertutur bahwa Vin+ tidak hanya berjualan wine, melainkan juga mengedukasi pasar agar tercipta komunitas wine, khususnya kalangan pemula agar semakin paham dan terbiasa dengan produk ini melalui program wine education dan free tasting wine. “Pada ajang ini, diajarkan bagaimana membedakan merek satu dan lainnya, meminum dengan benar, (karena) minum wine tidak selalu identik dengan mabuk,” Yolanda memaparkan. “Jika tahu cara minum wine yang baik dan benar, dapat meningkatkan kesehatan juga,” imbuhnya bak berpromosi.

Bukan cuma Vin+ yang seperti itu. Mayoritas wine shop melakukan hal serupa lantaran visi mereka hampir sama, yakni: mengedukasi pasar sebab masih terbuka lebar, terlebih seiring perubahan gaya hidup masyarakat perkotaan besar yang tumbuh menjadi pusat-pusat bisnis. Sebagai informasi, diperkirakan saat ini terdapat 50 peritel wine di beberapa kota besar Indonesia, yakni di Jakarta (9 peritel), Bali (10 peritel), sisanya tersebar di Bandung, Surabaya, Balikpapan, Manado dan Makassar. Kemudian, ada 8 distributor utama wine se-Indonesia.

“Katakanlah potensi pasar peminum wine, 10% dari total penduduk. Bukankah angka ini indikasi kue pasar wine di sini masih sangat besar?” tanya Yolanda. “Merekalah yang kami bidik,” tambahnya seraya mengklaim bahwa tingkat pertumbuhan penjualan Vin+ selama dua tahun terakhir mencapai sekitar 40% per tahun.

Untuk membetot konsumen, para pemain berupaya memberikan fasilitas terlengkap di wine lounge-nya supaya semakin menjadi tempat yang nyaman untuk hang out atau meeting point. Misalnya, fasilitas hotspot. Lalu, layanan pascajual, membuat daftar keanggotaan (privilege member), dan jasa layanan antar sampai ke rumah. Bisa juga kegiatan mensponsori dua komunitas wine, seperti Wine & Spirit Circle (1.000 anggota) dan Klub Wine (350 anggota), seperti yang dilakukan Vin+. Pokoknya, agar penjualan terus meningkat lantaran seperti diulas di atas, bisnis wine ini tak mudah, termasuk harus membayar pajak di muka.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

HARGA JUAL NYA BERAPA.....???? KEUNTUNGAN YANG DIDAPATKAN BERAPA.....???