6.28.2007

Wira, Animator Penembus Hollywood

Kamis, 24 Mei 2007
Oleh : Tutut Handayani

“Udah gede, kok senang film kartun. Aneh banget!” Olok-olok ini sering mampir di telinga Wira Winata sejak ia jadi ABG (anak baru gede) sampai sekarang. Namun, ejekan itu tak menyurutkan kecintaannya pada dunia kartun atau animasi. Bahkan, berkat kartun pula, ia mengukir prestasi tinggi: satu-satunya animator Indonesia yang berhasil menembus pasar Hollywood. Plus, sukses mengembangkan bisnis rumah produksi animasi bernama Shadedbox yang berkantor di Pasadena, Amerika Serikat, dengan klien yang tidak sembarangan: Disney TV, Buena Vista Games, Sony Computer Entertainment of America, Microsoft, Midway Games dan Landor.

“Dari hobi menjadi duit” sepertinya ungkapan yang pas buat lajang 30 tahun ini. Sejak usia prasekolah, Wira memang gemar menggambar tokoh-tokoh kartun. Selain tokoh top dunia semacam Donald Duck, Superman, Batman, Spiderman dan Flash Gordon, tokoh imajinasi pribadinya pun tak luput digambarnya. Namun, lantaran semata-mata hobi, Wira tidak mengimbanginya dengan pendidikan khusus agar keterampilan menggambarnya makin terasah. Situasi baru berubah kala mengenal mata kuliah desain produk ketika studi manufacturing engineering di Nanyang Polytechnic Singapura. “Ternyata, pelajaran desain produk mampu membuat kualitas gambar saya semakin rapi dan terstruktur,” ungkapnya. Agar kian terampil, selulus dari Nanyang, ia terbang ke Pasadena, untuk kuliah desain produk di Art Centre College of Design. Di sana, ia fokus pada keahlian rancang produk tiga dimensi.

Jelang tahun terakhir kuliah di Art Centre awal 2000, Wira mengajak tiga temannya yang memiliki passion sama membuat film animasi pendek. Mereka adalah Mike Frantum, Joey Jones dan Jason Du -- kelak ketiganya menjadi partner Wira dalam mendirikan Shadedbox pada November 2001. Minimnya pengalaman memproduksi film membuat target penyelesaian molor, dari 6 bulan menjadi setahun.

Awalnya, film pendek berjudul The Little Red Plane itu bukan untuk komersial. “Hanya untuk menjadi final project sebagai syarat kelulusan kuliah kami,” Wira menjelaskan. Proyek ini dikerjakan di apartemen seluas 35 m2 milik Mike. Iseng-iseng, pada 2001-03 mereka mengirimkan film tersebut ke berbagai festival animasi internasional. “Tujuannya sih, pengen tahu aja kelebihan dan kekurangan animasi kami plus tambah wawasan,” katanya.

Di luar dugaan, The Little Red Plane meraih banyak penghargaan bergengsi, seperti medali emas pada ajang Student Emmy Award dan Dances with Films, serta piala kristal dari Festival Film Heartland. Bukan hanya itu, film ini pun ditayangkan secara khusus pada Festival Film Cannes yang membuat Shadedbox mendapat sorotan kalangan kritisi film kartun dan pelaku industri animasi dunia. Tentu saja, termasuk Wira, sebagai sutradara belia -- saat itu ia berusia 25 tahun.

Prestasi ini mengantarkan Wira dan Shadedbox berkenalan dengan industri film komersial. Mereka bertemu dengan berbagai macam perusahaan talent management atau entertainment agency yang mengajak berbisnis bersama untuk produksi film animasi komersial. Inilah awal masuk ke pasar Hollywood yang segera diikuti tawaran-tawaran studio besar.

Saat ini Shadedbox mengerjakan proyek film bersama Cartoon Network dan The Gotham Group. Model kerja samanya: Shadedbox berperan sebagai tim kreatif, sementara Cartoon Network dan The Gotham Group sebagai manajemen dan pemasarnya. Ada juga yang sistem jual putus, contohnya karya Shadedbox dibeli Walt Disney Feature Animation. Di luar film animasi komersial, Wira dkk. mengerjakan pula berbagai proyek animasi untuk kepentingan iklan, efek visual video musik, architectural web dan video game cinematics. “Kami baru saja selesai membuat iklan animasinya Air Transport Authority,” ujar Wira. Contoh lainnya, iklan animasi Burger King, Toyota Yaris, dan film Desperate Housewives versi animasinya. “Lumayanlah buat nambah-nambah cash flow Shadedbox,” kata Wira, mengelak menyebutkan nilai nominal proyeknya.

Agar lebih sukses lagi, pada 2007 Shadedbox mulai aktif memasarkan jasa melalui Internet, seminar, atau konferensi animasi, selain secara getok tular. Impian Wira dkk. memang cukup tinggi: Shadedbox menjadi studio film animasi independen, dan sukses seperti Pixar, Ghibli dan Aardman. Bukan cuma itu, mereka pun ingin seperti para pembuat film kenamaan semacam Brad Bird, John Lasseter, Hayao Miyazaki dan Quentin Tarantino.

Sukses di AS tak membuat Wira lupa Tanah Air. Kini ia menjajaki kemungkinan memasarkan jasa produksi animasi Shadedbox di Indonesia. Hanya saja, “Masih belum ketemu investor, partner dan waktu yang tepat,” ujarnya. Ia melihat kebudayaan Indonesia yang kaya cerita tradisional anak-anak belum ditampilkan dalam bentuk animasi. “Biar anak-anak Indonesia mendapatkan tontonan yang pas untuk usianya,” kata si penembus Hollywood ini penuh harap.


Tidak ada komentar: