6.28.2007

Kiprah Raja Ritel Ponsel di Bisnis Properti


Senin, 10 Juli 2006
Oleh : Yuyun Manopol & Tutut Handayani.

Sejak tiang pancang hotel Swiss-Belhotel Banda Aceh dipasang pada Maret lalu, kesibukan Hermes Thamrin kian menjadi-jadi. Tiga hari dalam seminggu, pemilik jaringan ritel ponsel Nokia terbesar di Indonesia ini harus bolak-balik Jakarta-Banda Aceh untuk melihat langsung pembangunan hotelnya di bawah bendera PT Berlian Global Perkasa. Tak tanggung-tanggung, Hermes menggelontorkan dana hingga Rp 60 miliar untuk pembangunan hotel bernuansa Timur Tengah itu. Ia menargetkan dalam 6 bulan pembangunan hotel yang memiliki 159 kamar (129 deluxe room; 20 junior suites room; 8 suite room, dan dua president suite room – Red.) ini akan selesai. “Kepemilikan saya di sana mencapai 100%,” ujar Hermes mengomentari hotel yang bakal menjadi hotel berbintang empat plus yang pertama di Serambi Mekkah itu.

Ide membangun hotel timbul sepulang Hermes dari pertemuan para dealer yang tergabung dalam jaringan distributor ponselnya di Banda Aceh. Di sana ia melihat tidak ada hotel berbintang tiga ke atas yang layak inap baginya ataupun mitra bisnisnya. Selain itu, ia mencermati setelah kejadian Tsunami Desember 2004, banyak orang yang ingin datang ke Aceh. “Banyak orang yang berkunjung ke Aceh, seperti ingin melihat monumen Tsunami atau situasi pasca-Tsunami,” kata pria kelahiran 30 Januari 1948 asal Sumatera Utara ini.

Sesungguhnya, tak hanya Swiss-Belhotel Banda Aceh yang merupakan proyek properti Hermes. Di Medan, Hermes punya sebuah proyek yang tak kalah atraktif yaitu Cambridge Mall & Condominium. Gedung yang berlokasi di Jl. S. Parman, Medan ini dibangun bersama tiga rekannya dalam sebuah konsorsium PT Global Medan Town Square. Sayang, Hermes enggan menyebutkan nama ketiga mitra bisnisnya di mal yang memakan investasi Rp 150 miliar itu. “Yang pasti, mereka sangat berpengalaman di bisnis properti mal dan kondominium,” ia menegaskan.

Mal yang dibangun di atas lahan seluas 1 hektare ini akan memiliki empat menara dan 28 lantai (24 upper ground dan empat basement). Tak heran, Hermes yakin mal yang dibangun oleh PT Total Bangun Persada dan Decorient Indonesia (kontraktor) ini akan menjadi ikon baru di Kota Medan sekaligus gedung tertinggi di luar Pulau Jawa. Rencananya pembangunan proyek ini akan memakan waktu tiga tahun sampai resmi beroperasi.

Lalu, dari mana dana untuk berinvestasi di properti ini? Hermes mengelak uang yang dibenamkan di pembangunan hotel dan mal adalah uang dari bisnis selulernya, Grup Global (GG). Dijelaskan Hermes, uang yang dikeluarkannya murni dari kocek pribadi tanpa mengganggu arus kas bisnisnya di GG – induk perusahaan yang membawahkan bisnis distribusi ponsel Nokia, dealer resmi Telkomsel dan Flexi, serta 216 gerai jaringan ritel miliknya.

Menurut Hermes, berinvestasi di properti bukanlah hal yang asing baginya. Sejak 24 tahun lalu, Chairman PT Bimasakti Usindo Perkasa (distribusi Nokia) dan PT Cipta Multi Usaha Perkasa (jaringan Global Teleshop) ini sudah berbisnis properti. “Berbarengan dengan terjunnya saya menjadi wirausaha,” ujar mantan profesional di Welcome Foundation ini. Ketertarikannya pada properti karena properti merupakan investasi yang paling solid meskipun return-nya tidak tinggi.

Adapun investasi properti Hermes di Indonesia sebagian besar berbentuk rumah, ruko/rukan, dan gedung perkantoran. Ruko/rukan dan gedung perkantoran yang dibelinya mayoritas dipakai sendiri. Begitu pula dengan ruko/rukan dan gedung perkantoran yang dibangunnya. Semuanya digunakan untuk usaha jaringan ritel dan distribusi ponsel miliknya. Contohnya, Gedung Bimasakti (eks Gedung BCA) yang berlokasi di Jl. Mampang Prapatan Raya, Jakarta Selatan dibelinya tahun 2000. Begitu pula dengan Gedung Wisma Perkasa berlantai lima di Jl. Warung Buncit Raya, Jak-Sel, yang dibeli tahun 1993. Pertimbangannya, menghemat biaya sewa gedung.

Tidak hanya properti di Tanah Air yang diincar Hermes, sejak 1996 ia melirik properti di Australia. Bentuk propertinya yang pertama di Negeri Kanguru itu adalah sebuah rumah yang berlokasi di Kesingtown, Sydney. Sekarang rumah ini menjadi tempat tinggal pribadi. Alasannya, ketiga anaknya – Andreas Thamrin (29 tahun), Beatrix Thamrin (26 tahun), dan Chaterine Thamrin (24 tahun) – bersekolah di sana.

Setelah krisis 1998, Hermes ingin memperkaya portofolio pribadinya dalam bentuk properti. Tepat pada Agustus 2000 ia membeli 64 unit apartemen bertingkat 8 di Maruba, Sydney. Kemudian, setiap unit apartemen ini dijual kembali dengan harga Aus$ 275-500 ribu. Ia sengaja memilih Kota Sydney, “Banyak warga negara Indonesia tinggal dan bersekolah di sana. Merekalah pasar utama saya saat itu,” ujar Hermes, yang hingga saat ini atau dalam rentang waktu 8 tahun, praktis 100 unit apartemen telah dimainkannya di Australia.

Dijelaskan Hermes, harga properti di Australia selalu meningkat 10% per tahun, sedangkan tingkat inflasi di bawah 5% per tahun. Rata-rata keuntungan yang diperolehnya berkisar 15%-20% dari tiap jenis apartemen yang dijualnya. Hermes menceritakan, ia selalu membeli properti langsung dari pengembangnya. Kemudian, ia menggunakan jasa agen properti untuk menjualnya kembali.

Tampaknya, saat ini daya tarik properti sedang menggayuti pikiran pria yang tak bersedia mengungkapkan total perputaran semua bisnisnya ini. Ke depan, ia berencana akan membangun hotel di Sabang, Nanggroe Aceh Darussalam dan beberapa daerah wisata Indonesia lainnya. Alasannya, kawasan Sabang menyimpan potensi wisata taman laut yang jauh lebih indah dibandingkan dengan Bunaken.

1 komentar:

ado mengatakan...

aku add tutut di blogroll ku ya... ;-) ayo posting lagi, nanti aku mampir ke sini lagi.