6.28.2007

Blitz Megaplex: (Bakal) Ikon Gaul Anak Muda


Rabu, 20 Desember 2006
Oleh : Tutut Handayani

Tak lama lagi anak muda Jakarta bakal punya tempat gaul yang keren dan asyik. Blitz Megaplex (BM) bukan hanya menyediakan bioskop yang cozy, tapi juga ada kafe – Blitz Digital Cafe – untuk ngeceng (cuci mata – Red.) atau sekadar kongko-kongko. Di kafe ini, pengunjung pun dapat menonton film dari laptop pribadi atau ber-Internet ria sembari mendengarkan alunan lagu dan musik dari grup band atau disk jockey yang live show di panggung khusus. Dengan konsep interior yang ditata apik, BM diperkirakan bakal menjadi ikon gaul anak muda di Ibu Kota.

Adalah Ananda Siregar (31 tahun) dan David Hilman (40 tahun) yang terinspirasi membangun BM. Bermula dari kesukaan menonton film di bioskop, mereka tertarik membangun sarana nonton yang lebih dari yang ada selama ini (Cineplex 21). Untuk itu, karena investasinya sangat besar, selain Ananda yang mantan profesional di Farindo Investment Ltd. yang 90% dan David merogoh koceknya US$ 12 juta (sekitar Rp 120 miliar), mereka juga didanai oleh Quvat Management Pte. Ltd. -- perusahaan investasi yang dijalankan oleh sejumlah mantan karyawan Farallon Capital Management LLC.

Wendy Soeweno, Direktur Pemasaran BM, mengatakan, kerja sama dengan Quvat adalah murni bisnis. “Kami butuh waktu tiga tahun mencari calon investor dan menyakinkan kalau bisnis ini berprospek bagus,” ia menjelaskan. Sebelum berlabuh ke Quvat, lebih dari setengah lusin calon investor telah dijajaki. Akhirnya terpilih Quvat yang bukan hanya pemegang saham, tapi juga sebagai manajer investasi BM.

Untuk gerai pertama, Ananda dan David mencoba Kota Bandung sebagai proyek percontohan (pilot project). Alasannya, menurut Wendy, gaya hidup anak Bandung sesuai dengan positioning BM. Diharapkan, jika bangunan sinepleks bertingkat tiga dengan 9 layar dan kapasitas 2.250 kursi yang dibangun dengan gaya minimalis modern oleh konsultan arsitek Unick dari Glasgow, Skotlandia ini sukses, BM siap beroperasi di Jakarta, tepatnya di Grand Indonesia, Jl. M.H. Thamrin (eks kompleks Hotel Indonesia) dan Pacific Place di SCBD, Jl. Jend. Sudirman, Jakarta. BM di Grand Indonesia rencananya akan menjadi yang terbesar karena menyediakan 11 layar dengan 3.300 kursi. Setelah itu, menyusul BM di kawasan Pluit dan Kelapa Gading.

Menurut Wendy, sesuai dengan isi kantong remaja, BM tidak akan mematok tiket mahal. Harga tiket yang ditawarkan cuma Rp 25 ribu untuk film Hollywood dan Rp 15 ribu untuk film non-Hollywood. Namun, untuk satu gerai saja – seperti di Bandung – BM siap memutar 14-16 judul film per harinya.

Ananda dan David tampaknya serius menggeluti bisnis barunya. Kendati keduanya belum pernah menjadi entrepreneur, Wendy menuturkan, manajemen sangat optimistis terhadap peluang pasar baru ini. Mereka yakin konsumen film Indonesia butuh alternatif tempat baru untuk menonton film. Khususnya anak-anak muda usia kuliah (17-24 tahun) yang menjadi pangsa pasar utama BM. “Mereka butuh bukan sekadar tempat nonton film yang datang, masuk studio terus pulang,” ungkap Wendy. Artinya, BM juga bisa menjadi tempat hang out atau gaul buat anak-anak usia kinyis itu. Dan sesuai dengan slogan citra (tag line)-nya, Beyond Movies, BM bertekad membangun gaya hidup baru dalam industri sinepleks di Tanah Air.

Yang menarik, pengunjung nantinya tidak hanya disuguhi film Hollywood, tapi juga film Indonesia, Asia dan Eropa. Bahkan, film-film independen yang hanya diperuntukan bagi komunitas tertentu. Untuk itu, duet pengusaha muda ini bersama Wendy sudah mulai belanja film di pasar film internasional, seperti di American Film Market di Santa Monica, Amerika Serikat, yang memutar 589 judul film dan dihadiri produsen film dari 70 negara.

Kini, BM menjalin kerja sama dengan Cineclicik Asia dan IHQ, produsen film asal Korea Selatan. Juga, bermitra dengan Voltage Pictures, Capitol Film, Fabrication Film, MK Pictures, dan CJ Entertainment, oleh-oleh dari Festival Film Internasional Cannes di Prancis. Selusin film berhasil dibelinya untuk menambah stok film BM. “Kami harus door-to-door mengenalkan dan memasarkan Blitz kepada para produsen film,” papar Wendy.

Selain itu, guna meningkatkan kualitas film-film yang bakal ditayangkan, BM sengaja menggaet San Fu MalthaĆ¢ (mantan eksekutif Polygram dan pemilik A-Film (produsen film terbesar di Belanda) sebagai konsultan BM dalam hal pembelian dan pemilihan film. Kemudian, lewat Golden Screen Cinema (GSC), distributor dan raja sinepleks terbesar di Malaysia milik Robert Kuok, BM menjalin kerja sama bisnis dengan Universal Studio, Miramax, New Line Cinema, Fortissino, dan Pandora. Tak hanya itu, GSC menjadi pelatih bagi manajemen dan staf BM, khususnya level manajer sinema yang bertanggung jawab atas setiap gerai BM dan projectionist (pemutar film).

Tidak ada komentar: