6.28.2007

Ridwan Kamil: Menebar Karya ke Mancanegara


Rabu, 18 Oktober 2006
Oleh : Tutut Handayani

Nama Mochamad Ridwan Kamil kini makin populer di kalangan industri rancang bangun di Indonesia. Pria kelahiran Bandung 4 Oktober 1971 ini sejak 2003 banyak menghasilkan karya arsitektur di berbagai negara, di antaranya Singapura, Thailand dan Cina.

Awalnya adalah ketika pulang setelah lulus kuliah S-2 di University of California, Berkeley, Amerika Serikat, dan bekerja di New York dan Hong Kong (1997-2002). Ridwan mendirikan Urbane Indonesia atau akrab disebut Urbane, jasa konsultan perencanaan, arsitektur dan desain, tahun 2003. Dari pengalaman bekerja di konsultan arsitek dan desain ternama di AS, seperti EDAW San Francisco, AS, yang memiliki cabang di berbagai negara, yakni EDAW Asia dan EDAW Hong Kong, itulah Urbane dipercayai klien-klien asing. Urbane sering mendapatkan proyek desain yang dialihdayakan EDAW. Contohnya, Marina Bay Waterfront Master Plan di Singapura, Suktohai Urban Resort Master Plan di Bangkok, Thailand; dan Shao Xing Waterfront Masterplan di Shao Xing, Cina. Ketiganya melalui EDAW Asia.

Kemudian, Beijing Islamic Centre Mosque di Beijing melalui EDAW Hong Kong. Bukan hanya EDAW, konsultan arsitek dan desain ternama di Hong Kong, Singapura dan Bahrain -- SOM Hong Kong, SAA Singapura dan AJ Vision Bahrain -- pun sudah mengalihdayakan beberapa proyek ke Urbane. Contohnya, Beijing CBD Master Plan di Beijing, Guangzhou Science City Master Plan di Guangzhou dan District 1 Saigon South Residential Master Plan di Saigon, Vietnam. Semua proyek ini melalui SOM Hong Kong. Lalu, Greater Kunming Regional Master Plan dan Kunming Tech Park Master Plan di Kunming, Cina, melalui SAA Singapura dan Ras Al Kaimah Waterfront Master di Qatar-Uni Emirate Arab melalui AJ Vision Bahrain.

Lebih dari 40 rancangan di luar negeri kini telah dihasilkan Ridwan secara pribadi dan Urbane. ”Ada yang saya hasilkan ketika masih bekerja di Amerika dan setelah balik ke Indonesia melalui Urbane,” katanya. Umumnya, semua proyek di luar negeri ini berupa pengembangan kawasan perkotaan seluas 10-1.000 ha. Ridwan mengategorikannya sebagai urban design & redevelopment (UD & R; >10-40 ha) dan regional & community planning (R & C; 1.000 ha).

Melihat skala proyeknya yang dapat disebut megaproyek, maka klien Urbane umumnya adalah institusi pemerintahan, khususnya pemerintah kota. Bagi Ridwan, institusi pemerintah asing memang target pasarnya. Termasuk, jasa rancang UD & R dan R & C.

Sebenarnya, bukan pasar asing saja target sasaran Urbane saat ini. Untuk pasar lokal, selain jasa rancang UD & R dan R & C, Urbane juga menawarkan jasa rancang arsitektur yang fokus pada desain bangunan tunggal (single building) dan mixed-use development (tiga fungsi bangunan dalam satu kapling). Hal itu sudah dilakukannya, misalnya, rancangan single building Menara I Universitas Tarumanagara, Jakarta; Al-Azhar International School di Kota Baru Parahyangan, Bandung; Grand Wisata Community Club House di Bekasi; dan Pupuk Kaltim IT Centre, Balikpapan. Lalu, contoh rancangan mixed-use development-nya adalah Surabaya Festival Walk milik PT Dharmala Intiland di Surabaya dan ANTV Mixed Use Centre milik PT Bakrie Swasakti Utama di Jakarta.

Yang menarik, dalam berhubungan dengan klien, Urbane cenderung mengandalkan kemajuan teknologi informasi, melalui Internet, telepon dan faksimile. Tatap muka? “Jarang sekali kami lakukan,” ujar Ridwan. Ayah Emmeril Khan Mumtadz (7 tahun) dan Cammilia Laetitia Azzahra (2 tahun) ini mengungkapkan, yang penting adalah menjaga kepercayaan dengan “always delivery on time”. Perbedaan waktu yang sangat kontras tidak menjadi penghalang bagi Ridwan dan stafnya untuk menyelesaikan pekerjaan. Bila perlu, sampai menginap di kantor.

Namun, kerja keras tersebut sepadan dengan uang yang diperolehnya. Untuk proyek di luar negeri, Urbane memasang tarif Rp 600 juta-1 miliar per proyek. Sementara untuk pasar lokal, Rp 200 juta-2 miliar per proyek. Mahal? Ridwan menampik tegas. ”Sepadan kok dengan skala luasan rancangan properti yang harus dikembangkan,” katanya. Selain itu, Urbane memiliki pendekatan Envisioning Service. ”Inilah keunikan yang dimiliki Urbane dibandingkan pemain sejenis. Urbane bukan tukang rancang belaka,” katanya bangga.

Bermodal awal sekitar Rp 100 juta, Urbane pelan tapi pasti menata diri menjadi “real global player”. Maksudnya? Anak ke-2 dari 5 bersaudara ini ingin Urbane mendapatkan klien asing secara langsung. Tidak harus melalui konsultan arsitek dan desain asing seperti saat ini. ”Urbane bukan subkontraktor, tapi kontraktor utama,” ujarnya tegas. Targetnya? ”Tahun 2010! Sekarang kami ibaratnya sedang mem-branding diri.”



Tidak ada komentar: