6.28.2007

(Note : Saat meliput sajian utama tentang Kiprah Bisnis TP Rachmat, mantan petinggi Astra International)


Tjan Swie Yong:

“Pantaslah Dia Sukses”


penulis : Tutut Handayani


Sudah 46 tahun Tjan Swie Yong berkawan dengan T.P. Rachmat. Tentu, bukan hal mudah menjalin keakraban hingga selama itu. “Batu kerikil” pun pernah hadir di antara mereka. Wajar saja, karakter mereka berbeda. Tjan cenderung terbuka dan blak-blakan dalam menyampaikan sesuatu. Sementara Teddy, cenderung tertutup dan bertutur halus. Namun, perbedaan tidak pernah sampai menghancurkan persahabatan yang terjalin.

Awalnya, diakui Tjan, Teddy sempat terkaget-kaget dengan caranya berbicara dan bersikap yang straight to the point. Kalau marah, wajah Teddy terlihat datar-datar saja. “Beda dari saya. Orang pun langsung tahu kalau saya marah,” kata Tjan seraya tetawa. Hal ini kadang jadi penyebab pertengkaran mereka. “Tujuannya sih sama, tapi beda cara nyampeinnya. Kalau marahan, nggak pernah sampai berlarut-larut,” tambahnya. Dari Teddy-lah, Tjan belajar lebih sabar. Sebaliknya, Teddy jadi lebih mau terbuka.

Semua keakraban itu bermula di bangku kuliah Fakultas Teknik Jurusan Mesin ITB. Tjan adalah teman seangkatan Teddy (tahun 1961). Lulusnya pun bareng, tahun 1968. Bahkan, bersama sejumlah teman, mereka pernah serumah di kawasan Gatot Soebroto, Bandung. Rumah ini, dijelaskan Tjan, milik orang tua Teddy yang tak ditempati.

Sebenarnya, Teddy bisa saja tetap tinggal bersama orang tuanya yang tak jauh dari rumah itu. Namun, ia lebih memilih berkumpul bersama Tjan dan lainnya. Sepeser pun, Tjan dan lainnya tidak dimintai bayaran. Tentu, hal ini menyenangkan hati Tjan sebagai mahasiswa rantau dengan uang saku bulanan terbatas. Namun, “Kami tetap tahu diri,” tukasnya. Bersama kawan lainnya, mereka patungan membayar semua kebutuhan sehari-hari. Awalnya, Teddy menolak iktikad teman-temannya itu. Setelah dijelaskan Tjan maksud baik dari patungan ini, Teddy pun dapat menerima. Bahkan, ia pun ikut patungan. Dan kalau uang kiriman telat, Teddy tak segan meminjamkan uangnya dan mentraktir kawan-kawannya.

Waktu 7 tahun cukuplah buat mengenal karakter seseorang. Di mata Tjan, Teddy sosok yang sangat tahu apa yang diinginkannya. Ketika ditanya mau jadi apa setelah lulus kuliah, Teddy serta-merta menjawab ingin menjadi orang sukses dan kaya. Sementara yang lain, termasuk Tjan, cenderung bersikap bagaimana nanti saja. “Wong lulus saja belum,” kata Tjan lalu ketawa. Tentu saja jawaban Teddy menimbulkan keheranan di benak Tjan dkk. “Mau kaya seperti apa lagi sih Teddy ini,” tanya Tjan kala itu. Bukankah Teddy sudah anak orang kaya dan terpandang di Bandung. Atas pertanyaan ini, Teddy menjawab dengan lugas, “Yang kaya itu ayah ibu saya. Saya belum kaya dan bukan siapa-siapa.”

Teddy juga sangat disiplin dalam belajar, dan gemar membaca. Ia punya jadwal belajar yang selalu ditepatinya meski cuma 10 menit. Di mana saja dan dalam suasana apa pun, ia sempatkan membaca buku. Berbeda dari Tjan dan kawan lainnya. Contohnya, keletihan menempuh perjalanan Bandung-Surabaya dalam rangka partisipasi Pekan Olah Raga Mahasiswa (POM), tidak menurunkan semangat Teddy belajar, sekalipun ia tercatat sebagai atlet dalam POM itu. “Sempat-sempatnya ia baca diktat! Saya? Lebih senang bercanda atau banyak tidur,” kata Tjan. Rasa capek sepulang ajang POM, tidak dihiraukan Teddy. “Ia tetap saja masuk kuliah keesokan harinya. Saya dan yang lain, lebih memilih tidur di rumah,” tambahnya.

Kutu buku? Tidak juga. Menurut Tjan, kalau meminjam istilah anak sekarang, Teddy dapat disebut anak gaul. Bersama Tjan, Teddy senang menghadiri pesta dansa. “Cukup mahir ia berdansa. Saya saja kalah!,” katanya. Atau, sekadar kongko-kongko sambil makan makanan kaki lima. Sup kaki kambing salah satu favoritnya. Teddy tidak jengah sama sekali duduk di kaki lima. Tjan paling senang kalau mengajak Teddy berburu makanan enak mengelilingi Kota Bandung. Mereka berdua sama-sama pecinta makanan. Kebiasaan ini masih dilakukan meski tidak sesering dahulu. Ruang lingkupnya bukan Kota Kembang saja, tapi sudah merambah ke kota lain.

Keunikan lain Teddy adalah kegemarannya pada warna putih. Semasa kuliah sampai sekarang, koleksi bajunya mulai dari kaus sampai kemeja, mayoritas berwarna putih. Padanan celananya pun hitam, biru tua dan cokelat tua. Saking ingin tahunya, Tjan bertanya pada Teddy. Jawabannya: putih adalah warna yang simpel, elegan, jernih, bersih, tidak mencolok, dan mudah dipadupadankan. Ketika sama-sama bekerja, Tjan paham akan makna warna putih kegemaran karibnya itu. “Itu sangat Teddy banget yang mencerminkan pemikiran dan perilaku dalam mengelola bisnis dan kesehariannya,” ungkap Tjan.

Tjan sendiri mencoba menelaah makna warna putih bagi Teddy. Putih itu simpel yang berarti segala sesuatu hadir dari hal-hal yang kecil. Tidak langsung besar. Jernih, segala sesuatu harus jelas dan lugas. Elegan, berarti harus rendah hati bukan sombong. Bersih adalah cerminan penerapan nilai-nilai Good Corporate Governance. Mudah dipadupadankan, artinya sebagai pelaku bisnis harus cepat adaptif dan fleksibel dengan perubahan pasar. Hal ini pernah disampaikan Tjan kepada Teddy. “Dia hanya tersenyum penuh arti. 'Ah, itu bisa-bisa you saja',” Tjan menirukan ucapan Teddy.

Saking sederhananya, Teddy pun tak malu jika baju dan warna putihnya terlihat lusuh. Teman-temannya, termasuk Tjan, pernah menyatakan keberatan atas kebiasaannya itu. Teddy pun tak marah dan mau mendengarkan saran kawan-kawannya. “Alasannya sih, karena merasa lebih nyaman dan adem saja,” tukas Tjan. Pelan-pelan, Teddy mau berubah menjadi lebih necis meski celana panjang yang agak jingkrang (kependekan – Red.) masih sering dipakainya. Sekarang, Tjan dan Teddy sesekali main golf bersama di Rancamaya Golf Estate. Jika melihat sepak terjang dan sikap Teddy sejak kuliah sampai sekarang, hanya sebuah kalimat sederhana diucapkan oleh mantan petinggi di Grup Astra ini: “Pantaslah dia sukses.”


URL : http://www.swa.co.id/swamajalah/sajian/details.php?cid=1&id=5701